Jumat 30 Mar 2018 17:25 WIB

Perempuan dan Anak Korban Terbanyak Kekerasan di Yogyakarta

Dalam lima tahun terakhir, 90 persen korban kekerasan adalah perempuan dan anak.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Andri Saubani
Mahasiswa menggelar kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak. (ilustrasi).
Foto: Antara/Herry Murdy Hermawan
Mahasiswa menggelar kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Angka dari jumlah perempuan dan anak pada korban kekerasan di Kota Yogyakarta sangat tinggi. Setidaknya, selama lima tahun terakhir lebih dari 90 persen korban kekerasan yang terjadi di Kota Yogyakarta merupakan perempuan dan anak.

Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi mengungkapkan, tercatat ada kurang lebih 3.155 kasus kekerasan yang terjadi sepanjang 2011- 2016 di Kota Yogyakarta. Ia mengatakan, dari angka itu sebagian besar korbannya merupakan perempuan dan anak.

"Sebagian besar korban perempuan yang mencapai 91,03 persen, dan 16,46 persen dari itu merupakan anak-anak," kata Heroe di Balai Kota Yogyakarta.

Ia menegaskan, kondisi ini tidak cukup dijadikan keprihatinan, melainkan semangat bagi kita semua meningkatkan perlindungan kepada perempuan dan anak. Terlebih, ia berpendapat, saat ini tengah terjadi perubahan paradigma sosial.

Heroe merasa, masih banyak masyarakat yang menilai jika Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan urusan pribadi. Karenanya, ia meminta pola pikir itu dirubah karena KDRT merupakan masalah publik yang harus diselesaikan.

Selain itu, ia melihat pola pikir yang harus dirubah yaitu seorang anak dianggap baik bila bekerja dan yang tidak bekerja dianggap tidak membantu orang tua. Heroe mengingatkan, data yang ada di Kota Yogyakarta sebagian besar kekerasan anak justru dari aspek tersebut.

"Kekerasan terhadap anak yang paling banyak tentang mempekerjakan anak," ujar Heroe.

Namun, masalah kekerasan terhadap perempuan maupun anak tentu tidak hanya berakar dari kultur. Kemampuan sumber daya manusia untuk memahami persoalan itu tentu menjadi sumber masalah lain, mengingat kemampuan itu belum dirasakan masyarakat sepenuhnya.

Hal ini pula yang membuat tingginya angka kekerasan masih terlihat bias antara persoalan pribadi maupun persoalan publik. Belum lagi, belakangan media sosial begitu vulgar mempertontonkan apa saja, termasuk kekerasan.

"Tidak sedikit media sosial menunjukkan kekerasan, baik itu terhadap perempuan maupun anak, kadang terhadap sesamanya, itu menimbulkan pertanyaan darimana mereka bisa berbuat seperti itu," kata Heroe.

Bahkan, lanjut Heroe, tidak sedikit yang tampak begitu bangga telah melakukan kekerasan. Ini salah satunya merupakan hasil perubahan pola pikir yang dibawa permainan-permainan yang sifatnya kekerasan.

Pada masa tertentu, permainan-permainan itu malah begitu digemari anak-anak, yang secara tidak langsung mengurangi interaksi sosial secara nyata. Misalkan, dulu anak-anak tahu beradu kaki itu sakit karena bermain bola.

Secara tidak langsung, itu membekas di pikiran kalau beradu kaki itu sakit, apalagi jika melakukan kekerasan. Sayangnya, sejak permainan-permainaan dunia maya merajalela, anak seakan tidak memahami itu semua.

"Sementara, di game-game sekarang anak-anak tidak tahu menabrak orang itu sakit, malah ada game-game yang jika memukul mendapat poin dan membunuh mendapat poin lebih banyak," ujar Heroe.

Untuk itu, ia mengajak semua elemen masyarakat untuk mengambil perannya mengembalikan pola pikir yang sehat. Sebab, Heroe menegaskan, apa yang digambarkan dunia maya sangat jauh berbeda dengan apa yang terjadi di dunia nyata.

Pemkot Yogyakarta sendiri baru saja menjalin kerja sama dengan Pengadilan Negeri (PN) Kota Yogyakarta dan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Tujuannya, memberikan perlindungan terhadap hak-hak perempuan korban kekerasan dan anak berhadapan hukum.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement