Kamis 29 Mar 2018 20:00 WIB

Tarif Ojek Daring dan Kekesalan Para Driver

Kemenhub usul tarif ojol Rp 2.000 per km sedang pengemudi ingin jatah Rp 3.500-4.000.

Rep: Debbie Sutrisno, Adinda Pryanka/ Red: Budi Raharjo
 Ratusan pengemudi ojek online (Ojol) melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (27/3).
Foto: Republika/Wihdan
Ratusan pengemudi ojek online (Ojol) melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (27/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aspirasi para pengemudi ojek daring atau ojek online (Ojol) agar tarif transportasi umum berbasis teknologi informasi dinaikkan mendapatkan respons pemerintah. Melalui Kementerian Perhubungan, pemerintah mengusulkan agar tarif ojek daring ini dinaikkan menjadi Rp 2.000 per kilometer sudah termasuk keuntungan dan biaya jasa.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan Kemenhub memiliki perhitungan harga tarif pokok ojek online, dengan keuntungan dan jasanya sehingga tarifnya menjadi Rp 2.000. "Namun Rp 2.000 itu harus bersih, jangan dipotong menjadi Rp 1.600, karena karena ini yang menjadi modal untuk secara internal mereka menghitung," kata dia dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Kamis (29/3).

Menhub sebelumnya juga mengatakan itu usai rapat pembahasan taksi online dan ojek online di Kantor Kepala Kantor Staf Presiden, Rabu (28/3). Rapat digelar bersama Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko, Menteri Kominfo Rudiantara, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri dan perwakilan Grab dan Gojek.

Hasil pertemuan menyebutkan untuk besaran tarif ojek online, penentuan tarifnya adalah hak perusahaan untuk menentukan. Pemerintah tidak boleh menekan dan mengintervensi, karena perusahaan juga memiliki perhitungan tersendiri untuk mengeluarkan seberapa besar tarif per kilometernya.

Kepala KSP Moeldoko, mengatakan poinnya bukan naik atau tidaknya tarif, tapi yang diinginkan adalah pendapatan dari pengemudi itu dinaikkan dan itu sudah disampaikan pesan pengendara ojek ini kepada aplikator. Prinsipnya aplikator akan menyesuaikan, besarannya berapa, nanti aplikator yang akan menghitung lagi.

"Intinya adalah mereka siap untuk menaikkan. Pastilah tarif yang akan disulkan akan proporsional. Karena dari aplikator juga ingin menyejahterakan pengendara ojeknya. Besarannya nanti manajemen akan rembukan," katanya.

Moeldoko melanjutkan usaha antara perusahaan aplikator dan pengemudi ojek online bersifat kemitraan. Sehingga dalam kemitraan itu mesti ada keseimbangan antara kedua belah pihak.

Pengemudi ojek daring sebelumnya bisa mendapatkan Rp 4.000 per km, namun saat ini hanya Rp 1.600. Operator ojek daring pun menyetujui adanya kenaikan pembagian hasil. Namun, untuk besarannya masih akan dihitung secara rinci sehingga tidak merugikan perusahaan dan masyarakat sebagai pengguna jasa ojek daring.

Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata mengatakan pihaknya siap melakukan komunikasi secara terbuka dengan para pengendara ojek daring yang menjadi mitra perusahaan operator. Meski demikian, Ridzki mengatakan untuk mensejahterakan pengendara ojek daring bukan hanya tarif yang menjadi faktor.

Dua unsur lain yang harus diperhatikan adalah penumpang dan juga perusahaan operator. "Jadi kita juga harus memperhatikan itu," ujar Ridzki di Istana Negara. Untuk tarif, ia menjelaskan bahwa pihaknya masih melakukan kajian yang tepat agar tarif tersebut bisa mensejahterakan semua pihak termasuk pengendara ojek daring.

Namun, ia menilai, kenaikan tarif ini juga belum tentu bisa mensejahterakan pengendara karena ada poin lain yang harus dipenuhi yaitu jumlah penumpang. "Unsur pendapatan itu tarif dan volume. Yang menentukan adalah unsur penumpang, pengemudi dan kompetisi," ujarnya.

Sedangkan pihak Gojek tak memberikan pernyataan usai pertemuan. Meski begitu, sebelumnya Director of Corporate Affairs Gojek Nila Marita menyatakan Gojek siap menjunjung tinggi persaingan usaha yang sehat.

Terkait hasil pertemuan kemarin, perwakilan pengendara ojek daring menyatakan kesal karena mereka tidak diajak. Padahal, menurut Kepala Solidaritas Driver Gojek, Andreanes, Presiden Joko Widodo menjanjikan kesempatan bagi perwakilan pengendara ojek daring untuk ikut serta berembuk.

“Kita dari pukul setengah tiga (sore) di sini hujan-hujanan kayak dipermainkan bahwa ada rapat di dalam. Padahal kedatangan kami dalam rangka panggilan atas perintah presiden," ujar Andreanes, Rabu (28/3).

Ketua DPP Perkumpulan Pengemudi Transportasi Jasa Daring Indonesia, Badai menjelaskan bahwa mereka tidak menerima usulan agar tarif untuk pengemudi akan naik mencapai Rp 2.000. Mereka tetap meminta agar pengedara ojek daring kebagian jatah mencapai Rp 3.500-4.000 per kilometer.

Jumlah pengemudi Gojek di Indonesia saat ini ada 250 ribu dan Grab ada 300 ribu di enam negara pada 2017. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat.

photo
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko didampingi Menhub Budi Karya dan Menkominfo Rudiantara memberikan penjelasan terkait tarif angkutan ojek daring, Rabu (28/3).

Tarif jadi prioritas

Pengamat Transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Aditya Dwi Laksana, menjelaskan, tarif bawah untuk transportasi dalam jaringan (daring) sudah sepatutnya menjadi prioritas. Tujuannya, untuk menciptakan atmosfer persaingan bisnis yang sehat dan sempurna antarpenyedia jasa.

Penyetaraan juga harus dilakukan guna menyeimbangi antara transportasi daring dengan transportasi publik yang sudah eksisting. "Untuk mereka yang pelat kuning sudah ada tarif bawah dan atas, sudah sepatutnya transportasi daring atau yang beraturan sewa khusus dengan pelat hitam diberlakukan peraturan yang sama," ujar Aditya ketika dihubungi Republika.co.id, Rabu (28/3).

Tidak hanya dari tarif, menurut dia, kesetaraan perlakuan juga harus diberlakukan dalam berbagai aspek. Apabila angkutan umum konvensional harus melalui uji kendaraan bermotor berkala (kir), pengemudi wajib berseritifikasi angkutan umum dan pengelola dikenai biaya pajak, kondisi serupa patut diaplikasikan ke transportasi daring.

Pemberlakuan penyetaraan dalam lingkup transportasi daring semakin menjadi penting mengingat perubahan di masyarakat yang semakin banyak memilih menggunakannya dibanding transportasi konvensional. Apabila tidak ada peraturan jelas dari pemerintah dan pihak terkait lain, persaingan akan tidak sehat dan bisa berdampak terhadap keamanan serta kenyamanan pengguna maupun pengemudi.

Setelah sudah tercipta iklim bisnis yang sehat, Aditya menuturkan, keputusan kini tinggal berada di tangan masyarakat. "Mereka dapat menentukan pilihan mana yang menurut mereka lebih aman dan nyaman terjangkau," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement