REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika.co.id
Jenderal Gatot Nurmantyo mengisahkan pengalamannya saat mengawal Presiden Jokowi kala menghadiri Aksi Bela Islam pada 2 Desember 2016 atau yang populer disebuat Aksi 212. Jokowi yang mendatangi Monas dan ikut shalat Jumat, saat itu tidak disangka lantaran pada saat aksi 4 November 2016, ia tidak muncul di tengah-tengah aksi massa. Jokowi kala itu malah memilih mengunjungi Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Gatot yang ikut mengawal Jokowi mengatakan, ia memang sengaja memakai kopiah putih dengan pertimbangan menjaga keamaan RI 1. Menurut dia, dengan adanya jutaan orang yang memenuhi Monas hingga Jalan Veteran dan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, membuat pengamanan sebanyak apa pun akan berisiko. Hal itu bisa saja terjadi apabila massa itu dipengaruhi seseorang untuk melakukan keributan dan kondisi aman bisa tiba-tiba berubah.
"Pada saat itu, Presiden akan di tengah-tengah kumpulan massa yang besar. (Personel) Paspampres 1.000 saja taruhlah, (ada) jutaan orang ini ingin bersalaman bersama-sama, itu kayak apa itu ke depannya? Gak akan kuat itu pertahanannya. Dalam kondisi seperti ini, berdasarkan pelajaran perang yang saya terima psikologi massa, saya manfaatkan bagaimana saya harus bisa mengendalikan ini agar tidak emergency," ujar Gatot saat berkunjung ke kantor Harian Republika di Jakarta Selatan, Rabu (28/3) sore WIB.
Karena itu, dengan tetap memakai baju dinas TNI berwarna hijau, Gatot memilih mengenakan kopiah putih untuk menunjukkan posisinya. Hal itu lantaran lautan massa yang menggelar zikir dan menunaikan shalat Jumat di Monas, didominasi baju putih. Dia menegaskan, tetap berada di pihak pemerintah, namun mencoba untuk bisa menjadi bagian dari masyarakat yang sedang menuntut keadilan.
"Maka saya harus tunjukkan saya adalah bagian dari mereka (perserta 212), tapi mereka juga tahu saya bagian dari pemerintah. Berpakaian dinas, saya menggunakan peci putih sebagai identitas mereka. 'Oh ini bagian dari saya, tapi dia tahu saya'. Jadi apabila ada suatu hal maka kelihatan saya akan didengar (perserta 212). Keselamatan presiden adalah kewenangan penuh TNI dan panglima TNI, itu yang saya lakukan," tutur mantan KSAD dan Pangkostrad itu.
Gatot menambahkan, pihaknya memilih bersikap dan berkomentar berbeda dengan beberapa pejabat pemerintah lainnya, lantaran memandang peserta Aksi 212 tidak memiliki tujuan macam-macam. Menurut dia, masyarakat yang menggelar aksi damai harus didekati dengan cara yang damai pula. Karena itu, ketika banyak tudingan bahwa peserta Aksi 212 dicap negatif, seperti radikal, intoleran, dan anti-Pancasila, ia memilih sikap berbeda. Karena memakai pendekatan positif itulah maka TNI tidak perlu sampai unjuk kekuatan segala.
"Bagaimana pun juga itu adalah rakyat Indonesia, mereka tidak bersenjata dan mereka niatnya berdoa. Apa alasan-asalan yang menunjukkan mereka adalah radikal kek segala macem, tidak ada kata itu. Ya kita harusnya berpikiran positif kalau kita berpikiran negatif maka kita akan melakukannya dengan cara negatif. Tapi kita berpikir positif," ujar Gatot.
Mantan Pangdam V/Brawijaya itu tidak masalah, meski pada akhirnya banyak suara negatif yang ditujukan ke arahnya. Dia menganggap hal itu sebagai risiko pekerjaan. Yang terpenting dan terutama, kata dia, Presiden Jokowi bisa menemui rakyatnya dengan rasa aman dan Aksi 212 berlangsung tertib. "Bagi saya, biasa saat itu diisukan, karena tentara itu yang paling penting adalah asas tujuan yang diutamakan. Asas tujuan adalah presiden aman maka apapun saya lakukan agar aman. Karena tugas saya adalah mengamankan presiden," tutur Gatot yang akan pensiun dari kedinasan TNI AD pada 1 April mendatang.