Rabu 28 Mar 2018 19:47 WIB

Pembongkaran Bekas Bioskop Indra Diwarnai Kericuhan

Mereka meminta pembongkaran tidak dilanjutkan ke bangunan inti Bioskop Indra.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Fernan Rahadi
Kericuhan yang sempat terjadi di pembongkaran bekas bangunan Bioskop Indra di Yogyakarta, Rabu (28/3).
Foto: Republika/Wahyu Suryana
Kericuhan yang sempat terjadi di pembongkaran bekas bangunan Bioskop Indra di Yogyakarta, Rabu (28/3).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kericuhan sempat terjadi ketika pembongkaran bekas bangunan Bioskop Indra yang dilaksanakan Pemda DIY, Rabu (28/3) pagi. Sejumlah orang yang mengaku ahli waris menolak dan mencoba menghentikan alat-alat berat yang diterjunkan untuk merobohkan bangunan tersebut.

Pembongkaran dilaksanakan pada Rabu pagi sekitar pukul 08.30. Sejak pagi, sebagian masyarakat sekitar yang mengetahui rencana pembongkaran memang sudah ada di sekitar lokasi untuk melihat proses pembongkaran.

Suasana cukup tenang ketika puluhan petugas Satpol PP datang ke lokasi, bersiap melakukan pembongkaran. Tidak lama kemudian, disusul puluhan petugas Kepolisian dan TNI yang berjaga di pinggiran jalan Malioboro.

Bioskop Indra sendiri memang berada di Kawasan Malioboro, atau tepat di seberang pintu masuk depan Pasar Beringharjo. Lokasi yang sedikit masuk ke dalam itu membuat masyarakat bisa diposisikan di luar agar tidak mengganggu pembongkaran.

Peninjauan lokasi dilakukan Satpol PP, termasuk ke belakang dan ke dalam bangunan. Di bagian belakang bangunan terdapat ratusan kendaraan sepeda motor yang ternyata biasa memarkirkan kendaraannya di sana.

Kendaraan itu sebagian besar milik pedagang-pedagang di Kawasan Malioboro dan Pasar Beringharjo. Sebelum pembongkaran, mereka diberikan izin untuk segera memindahkan motor jauh dari lokasi demi menghindari tertimpa bangunan.

Proses pembongkaran bangunan dilakukan sekitar pukul 09.00, menggunakan traktor kecil untuk merobohkan bangunan pinggir dan bangunan-bangunan yang berdiri di sekitaran. Sebagian orang yang mengaku ahli waris ada pula di sana menyaksikan.

Keadaan mulai menegang ketika satu traktor besar diarahkan untuk merubuhkan bangunan inti Bioskop Indra. Walau orang-orang yang menolak ada di sekitaran lokasi, setidaknya hanya dua orang yang berdiri tepat di depan alat-alat berat.

Mereka meminta pembongkaran tidak dilanjutkan ke bangunan inti Bioskop Indra. Setelah itu, masih berada di depan traktor, sejumlah pimpinan Satpol PP mencoba memberikan pengertian agar kedua orang tersebut tidak menghalangi.

"Nggak boleh ini sebenarnya, pengadilan masih berlangsung, kok malah sekarang dengan action begini, kalau ini negara hukum, ini negara koboy namanya ini," kata Juffry, salah satu penolak pembongkaran yang mengaku sebagai salah satu ahli waris Bioskop Indra.

Ia turut menolak klaim Satpol PP atau Pemda DIY yang memiliki sertifikat kepemilikan tanah. Menurut Juffry, status sertifikat itu telah dibatalkan pengadilan, dan sedang dilakukan proses peradilan.

Karenanya, ia menilai seharusnya ditunggu terlebih dulu putusan pengadilan, bukan malah melakukan pembongkaran. Juffry menekankan, gugatan sudah dilayangkan ke pengadilan dan sudah dalam proses.

"Sudah dalam proses pengadilan, itu (sertifikat) pembatalan, sebab dasarnya tidak benar, dan sudah kami laporkan, sudah diproses pengadilan, kok sekarang masuk begini, dalam proses hukum kok," ujar Juffry, ditemani kuasa hukumnya, Maykel Manus.

Anehnya, di tempat yang sama ada pula sejumlah orang yang mengaku sebagai kuasa hukum dari ahli waris Bioskop Indra. Romi Habie, kuasa hukum dari salah satu ahli waris Gilbertus, menilai pembongkaran memang dilakukan karena Pemda DIY memiliki sertifikat.

"Karena Pemda punya sertifikat, karena dia punya sertifikat hak dia dong memanfaatkan lahan, sekarang orang yang mengaku memiliki hak punya sertifikat gak, ini tanah sudah bertahun-tahun mengkrak," kata Romi.

Untuk itu, ia mengaku sejak dulu ahli waris sudah mendukung upaya Pemda DIY untuk menata lokasi. Bahkan, lanjut Romi, di PTUN mereka berlawanan dengan orang-orang yang mengaku ahli waris lain dan menolak pemugaran.

Terlebih, di dalam dokumen yang dipegangnya penolak-penolak itu memang tidak memiliki hak. Menurut Romi, jika orang-orang itu memiliki hak tentu sudah diselesaikan melalui tali asih oleh Pemda DIY.

"Tidak perlu (menunggu putusan pengadilan), karena itu ke PTUN, tidak ada eksekutor lain, beda dengan pengadilan, kalau di PTUN tidak perlu," ujar Romi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement