REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Pelaksana Tugas Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak Lies Rosdianty mengatakan masih ada dan banyak warga masyarakat yang menganggap kekerasan terhadap anak sebagai sesuatu hal yang wajar. Pola pandang itu, menurutnya, harus diubah.
"Mereka menganggap kekerasan pada anak itu sebagai bagian dari pendidikan," kata Lies dalam Rapat Koordinasi Teknis Forum Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (PUSPA) di Semarang, Selasa (27/3).
Karena itu, salah satu strategi penghapusan kekerasan terhadap anak adalah dengan pembentukan norma-norma sosial yang berbasis perlindungan anak sehingga kekerasan terhadap anak tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang wajar.
Selain norma sosial, yang harus dibentuk oleh masyarakat, juga ada pembentukan legislasi dan kebijakan yang menjadi ranah pemerintah sebagai salah satu strategi penghapusan kekerasan terhadap anak.
"Kalau soal legislasi dan kebijakan, tampaknya Indonesia juga tidak kurang. Yang terakhir adalah kebijakan kebiri kimiawi dan pemasangan 'chip' bagi pelaku kekerasan terhadap anak," tuturnya.
Terhadap orang tua, strategi penghapusan kekerasan terhadap anak adalah dengan memberikan pemahaman tentang pola pengasuhan yang baik.
Sedangkan terhadap anak, strategi yang bisa diterapkan adalah dengan memberikan keterampilan hidup dan ketahanan diri. "Selain itu, masih ada layanan bagi korban, pelaku dan saksi kekerasan terhadap anak serta penyediaan data dan bukti," katanya.