Selasa 27 Mar 2018 06:53 WIB

Mengapa Premium akan Dihilangkan?

Faktor lingkungan menjadi alasan penghilangan Premium.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Elba Damhuri
Warga mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium di SPBU Cikini, Jakarta, Ahad (2/10).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Warga mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium di SPBU Cikini, Jakarta, Ahad (2/10).

REPUBLIKA.CO.ID  Pemerintah secara perlahan mulai menghilangkan bahan bakar minyak (BBM) khusus penugasan jenis Premium di sejumlah wilayah di Tanah Air pada tahun ini. Langkah itu didasari standar emisi yang disyaratkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No P.20/MENLHK/Setjen/KUM.1/3/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru.

Berdasarkan beleid itu, terhitung mulai Mei 2018, pemerintah mensyaratkan penggunaan BBM standar Euro 4 di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), Palembang, Yogyakarta, Surabaya, Banyuwangi, dan Labuan Bajo. Kebijakan ini akan dijalankan secara bertahap hingga 2021.

Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Adiatma Sardjito menjelaskan, permen ini sudah berlaku sejak 10 Maret 2017 untuk kendaraan tipe baru dan 10 Juli 2018 untuk kendaraan yang sedang diproduksi. "Dengan permen ini, bahan bakar minyak yang tidak memenuhi standar (Euro 4) akan segera dihapus," ujar Adiatma di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jakarta, kemarin.

Selain itu, menurut dia, Pertamina juga diminta tidak menyalurkan dan menjual Premium pada saat pelaksanaan Asian Games di Jakarta-Palembang serta Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia di Nusa Dua, Bali. Faktor lingkungan menjadi alasan di balik permintaan tersebut.

Adiatma menjelaskan, permintaan itu telah disampaikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kepada Presiden Joko Widodo. Mengacu pada surat itu, Pertamina tidak akan menyalurkan dan menjual Premium selama Asian Games digelar 18 Agustus-2 September 2018 serta Pertemuan Tahunan IMF dan Bank Dunia 12-14 Oktober 2018. Wilayah-wilayah yang menjadi sasaran, yaitu Jakarta, Bandung, Palembang, dan Bali.

Menurut Adiatma, kebijakan tersebut untuk memenuhi standar kadar sulfur di udara ideal, yaitu di bawah 25 mikrogram per mililiter (standar WHO). Sementara, berdasarkan pantauan KLHK, beberapa kota besar di Tanah Air memiliki kualitas udara yang sudah melampaui standar.

Sebagai contoh di Ibu Kota, Jakarta. Terhitung dalam kurun waktu Januari 2017 hingga Januari 2018, standar kadar sulfur di udara mencapai 35 mikrogram per mililiter. "Penyebab utamanya adalah gas buang kendaraan bermotor dengan mesin yang menggunakan BBM berkualitas rendah," kata Adiatma.

Sampai berita ini ditulis, para pejabat di KLHK, termasuk Menteri LHK Siti Nurbaya, belum merespons permintaan konfirmasi dari Republika. Namun, dalam sejumlah kesempatan, KLHK mengklaim BBM standar Euro 4 memiliki banyak dampak positif.

Misalnya, mengurangi polusi sehingga kualitas udara makin baik. Dampak positif lain juga terasa bagi industri otomotif, yaitu tidak perlu membuat dua mesin dengan standar emisi berbeda.

Pertamina diketahui belum memiliki BBM standar Euro 4. Bahan bakar khusus (BBK) yang disalurkan dan dijual Pertamina, yaitu Pertalite, Pertamax, dan Pertamax Turbo, memiliki research octane number (RON) di atas 90. Sementara, kandungan sulfur ketiga bahan bakar itu di atas 300 part per milion (ppm) atau di atas standar KLHK, yaitu maksimal 50 ppm dan RON minimal 92.

Pertamina dalam sejumlah kesempatan mengklaim perseroan siap mengikuti aturan pemerintah. Pasokan BBM standar Euro 4 baru bisa dipenuhi saat kilang-kilang Pertamina tuntas di-upgrade pada 2021. Dengan demikian, sementara Pertamax dan Pertamax Turbo dioptimalkan demi memenuhi kebutuhan terhadap BBM standar Euro 4.

Jaga Premium

Rencana penghilangan Premium secara bertahap hadir tak lama setelah penaikan harga bahan bakar khusus (BBK) jenis Pertalite, akhir pekan lalu. Rata-rata kenaikan sebesar Rp 150 sampai Rp 200 per liter.

Masyarakat di sejumlah daerah tidak mempersoalkan kenaikan harga Pertalite, tetapi ketersediaan Premium yang begitu minim. Problem lain adalah migrasi konsumen di lapangan dari Pertalite ke Premium sebagaimana tergambar di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di daerah.

Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmi Radhi menilai kelangkaan Premium yang terjadi saat ini diindikasikan karena kekurangan pasokan dari Pertamina. Pada saat harga Pertalite meningkat, Pertamina harus menjaga pasokan Premium.

Ia menemukan fakta di lapangan adalah remigrasi dari Pertalite ke Premium. Apabila Pertamina tak menambah alokasi Premium, akan terjadi kelangkaan bahan bakar itu di SPBU. Namun, Fahmi meyakini, daya beli masyarakat tidak akan terganggu.

(bowo pribadi/mursalin yasland, Pengolah: muhammad iqbal).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement