REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat telah terjadi 16 kasus kekerasan yang menyebabkan anak meninggal dunia dalam kurun Januari-Maret 2018.
"Maka dari itu perlu perhatian khusus, terlebih Maret ini saja belum selesai dan kasus yang tercatat itu belum termasuk yang tidak dilaporkan," kata Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati di kantornya, Jakarta, Senin (26/3).
KPAI mencatat sejumlah kasus kekerasan yang menyebabkan anak meninggal itu dilakukan oleh orang tua dan orang dekat, seperti terkini adalah meninggalnya bayi C diduga dilakukan oleh ibunya sendiri. Selain itu, dalam kurun yang sama terdapat 23 kasus kekerasan anak dengan berbagai tindakan di antaranya kekerasan fisik, dipukul berulang, disekap, diseterika, dipasung, disulut rokok, ditanam hidup-hidup, bersama-sama menjatuhkan diri hingga diracun.
Ibu, kata dia, menempati pelaku kekerasan tertinggi yaitu sebanyak 44 persen, ayah 18 persen, ibu dan ayah tiri 22 persen, pengasuh 8 persen, pengasuh pengganti (tante, ayah tiri) 8 persen. Rita mengatakan kasus-kasus itu tersebar merata di berbagai daerah di Indonesia baik di kota maupun desa. Latar belakang pendidikan juga tidak menjadi faktor penentu tindakan kekerasan dilakukan terhadap anak.
Penyebab kekerasan orang tua terhadap, kata dia, banyak dilakukan karena ketidakharmonisan keluarga, faktor ekonomi, kurangnya pengetahuan tentang pengasuhan anak dan persoalan pribadi yang mengarah pada kesehatan mental. KPAI, kata dia, mengingatkan bahwa tindakan anak tidak selalu dalam kategori nakal. Ketika anak merengek, menangis, apalagi masih balita itu adalah bagian dari ekspresi perasaannya.
"Tidak ada anak 'nakal' sebagaimana persepsi orang dewasa karena sesungguhnya anak sedang belajar mengekspresikan perasannya, meminta sesuatu atau belajar tingkah laku yang baik," tuturnya.