Ahad 25 Mar 2018 10:46 WIB

Utang Luar Negeri RI: Kritis atau Baik-Baik Saja?

Banyak cerita sedih soal negara-negara yang berutang, ada juga kisah gembira.

Warga menunjukkan pecahan uang dolar Amerika yang ditukarkan di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Rabu (14/3).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Warga menunjukkan pecahan uang dolar Amerika yang ditukarkan di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Rabu (14/3).

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Ahmad Fikri Noor, Elba Damhuri

Hampir tak ada negara yang tak berutang. Asumsi ini tidak salah. Jika dibuat peta dunia mendatar, mayoritas negara di seluruh dunia memiliki utang, dengan tujuan beragam.

Pertanyaannya, apakah itu utang itu dikelola untuk kegiatan produktif? Apakah utang berkualitas tinggi untuk pembangunan ekonomi? Apakah utang itu malah menjadi beban ekonomi sebuah negara? Atau, utang itu hanya dijadikan alat untuk bagi-bagi subsidi sosial buat rakyat kecil demi tujuan-tujuan politik?

Persoalan utang ini yang belakangan ini diangkat beberapa kalangan seiring terus menanjaknya utang pemerintah dan swasta namun aktivitas sepertinya tidak memberikan efek pada aktivitas ekonomi. Sebuah kritik bagus kepada pemerintah Indonesia yang saat ini sangat giat membangun infrastruktur dan bagi-bagi subsidi sosial yang uangnya berasal dari utang.

Baca Juga: Curhatan Sri Mulyani Soal Utang Pemerintah

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengingatkan pemerintah agar hati-hati mengelola utang agar tidak salah manajemen yang bisa berakibat fatal. Sejarah krisis ekonomi Indonesia dan banyak negara di dunia karena persoalan utang luar negeri yang menumpuk, yang tidak mampu menahan fondasi nilai tukar dan tidak bisa membangun kepercayaan internasional.

Ada kisah sedih dari negara-negara berutang. Ada juga kisah gembira. Kebanyakan negara-negara berkembang (Indonesia ada di dalamnya) mencatat kisah sedih terkait utang-utang luar negerinya.

Zimbabwe, misalnya, harus menghapus buku utang-utangnya sebesar 40 juta dolar AS kepada Cina dan mengganti mata uangnya menjadi Yuan. Cina memang royal kepada banyak negara. Zimbabwe yang sudah gagal bayar saja masih diberi utang hingga 1 miliar dolar AS.

Kompensasi besarnya, Cina boleh mengimpor pekerja kasar, produk-produk, hingga teknologinya ke negara yang diberi utang, termasuk Zimbabwe. Srilanka juga mengalami cerita yang sama. Gagal bayar utang, satu pelabuhannya kini sahamnya hingga 70 persen dikuasai BUMN Cina.

Bagaimana dengan Indonesia? Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan, peningkatan utang di era Pemerintahan Presiden Joko Widodo belum mendorong laju pertumbuhan perekonomian. Produktivitas dan kualitas perekonomian belum terlihat seiring kenaikan utang yang tinggi ini.

"Efektivitas utang untuk meningkatkan produktivitas ekonomi tidak terlihat sampai sekarang. Setidaknya, harus ada sektor yang produktivitasnya naik untuk meningkatkan nilai tambah, tenaga kerja, dan lain sebagainya," ujar Heri di Jakarta, Rabu (21/3).

Dalam tiga tahun terakhir, utang pemerintah meningkat secara signifikan. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru relatif stagnan di kisaran 5 persen.

Dengan perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB) nominal, ekonomi Indonesia dalam rentang 2015 hingga 2017 rata-rata naik 8,74 persen per tahun. Sementara, total utang pemerintah pada periode yang sama rata-rata naik 14,81 persen per tahun.

Utang pemerintah melonjak dari Rp 3.165,13 triliun (2015) menjadi Rp 3.466,96 triliun (2017). Pada akhir Februari 2018, utang pemerintah pusat jumlahnya mencapai Rp 4.034,8 triliun.

Sementara, dalam APBN 2018 utang pemerintah diproyeksi akan mencapai Rp 4.772 triliun. Jika digabung dengan utang swasta termasuk BUMN, maka utang Indonesia menjcapai Rp 7.000 triliun.

Akibatnya, laju penambahan utang yang lebih kencang dari peningkatan PDB akan semakin menggerogoti stabilitas perekonomian ke depan. "Ini tentu akan banyak implikasi yang luas terhadap perekonomian," ujar Heri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement