Jumat 23 Mar 2018 08:22 WIB

Badai Petir Parpol dan Politisi Menyambar Jakarta

Semua lumpuh tak berdaya dihantam badai petir jakarta.

Awan gelap dan badai petir. ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang/foc/17.
Foto: ANTARA FOTO
Awan gelap dan badai petir. ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang/foc/17.

Oleh: Maiyasyak Johan*

Pekan ini, BMKG melaporkan prakiraan cuaca, bahwa Jakarta akan dilanda badai petir, karena itu diminta agar warga Jakarta berhati-hati.

Namun tak ada yang menyangka, jika badai petir itu akan menyambar beberapa politisi penting dari berbagai Partai Politik yang sedang duduk manis di belakang meja kantor atau dirumahnya.

Tak hanya PDI-P yang tersambar badai petir tersebut, tetapi PAN, Nasdem bahkan PBB juga. walau volatge sambarannya berbeda. Tetapi yg namanya petir tetap saja berbahaya.

Badai Petir itu

Dari Gedung Pengadilan Tipikor Jakarta, hari ini, di dalam pemeriksaan terdakwa kasus e-KTP, Setya Novanto memberikan keterangan yang menyentak dan mengagetkan tak hanya istana dan teuku umar, tetapi juga seluruh rakyat Indonesia. Bagaimana tidak, dua Politisi yang menjabat posisi penting dari lingkungan Istana yaitu: Puan Maharani dan Pramono Anung oleh Setya Novanto masing-masing disebut menerima uang e-KTP sebesar USD 500 ribu.

Yang menyentak dan mengagetkan masyarakat bukan tentang benar atau tidaknya keterangan Setya Novanto tersebut, tidak belum sampai kes ana, tetapi lebih pada basis hukum dari keterangan itu, yaitu menunjuk pd keterangan dari dua atau tiga saksi yang memenuhi persyaratan UU untuk bisa diterima dan dijadikan alat bukti yang sah.

Sementara, bagi para pengamat politik, keterangan Setya Novanto tersebut lebih dari sekedar masalah hukum, melainkan bagai sebuah tirai yang sengaja diturunkan untuk menghalangi langkah Puan Maharani Menapaki Karir Politiknya, yakni menjadi candidat Wapres yang mendampingi Jokowi dalam Pilpres 2019 nanti. Selain juga menurunkan posisi bargaining PDI-P dalam penentuan Cawapres 2019 dan penyusunan Kabinet pasca Pilpres seandainya Jokowi berhasil memenangkan Pilres 2019.

Pertanyaan kita adalah: Adakah yang bermain di sini? atau, ini memang murni hanya sebuah keterangan Hukum semata? Jika benar murni hanya keterangan hukum semata, mengapa selama ini KPK tidak pernah menyebut nama mereka? Kapan nama ini mulai di dengar KPK?.

Atas keterangan Setya Novanto tersebut di atas, PDI-P melalui sekjennya. Hasto Kristiyanto - mungkin dimaksud untuk mencegah kemungkinan politik yang bisa ditimbulkannya mencoba memberi penjelasan tentang posisi PDI-P dalam program e-KTP pada era pemerintahan SBY.

Sayangnya, keterangan yang diberikan oleh Hasto alih-alih membuat terang masalah, malah sebaliknya membuat masyarakat bertanya bahwa sebagai oposisi dari pemerintahan SBY ternyata para kadernya tidak menjalankan garis politik partainya, melainkan terikut 'rendong' pada rayuan yang melahirkan kasus e-KTP tsb.

Selain itu, yang disebut Setya Novanto bukan tentang sikap politik PDI-P, melainkan tentang tindakan dan perbuatan individu-individu PDI-P. Sehingga keterangan Hasto tidak nyambung dengan peristiwa yang dikemukakan Setya Novanto.

Kini bola ada di KPK - merujuk pada Vonis Kasus Nazarudin, Vonis Kasus SDA dan Vonis Kasus Gatot - yang belum (tidak) dilanjuti oleh KPK - pertanyaan kritis pun mulai beredar dari mulut ke mulut, mempertanyakan keberanian KPK, mulai dari pesimis hingga kemungkinan hanya akan dijadikan bahan penyanderaan politik saja. Sangat sedikit yang optimis akan ada proses hukum sebagaimana mestinya. Tiga kasus di atas, serta banyak kasus lainnya menjadi dasar dari berbagai pendapat yang beredar.

Terlepas dari berbagai pendapat yang beredar - keterangan Setya Novanto ini memang seperti pukulan balik yang telak terhadap PDI-P, mengingat banyaknya petinggi PDI-P yang tersebut dan dikaitkan dengan kasus e-KTP.

Mungkin karena itu, publik begitu antusias mengikuti dan menanti apa langkah hukum yang akan dilakukan KPK.

Badai Petir II

Bermula dari kritik Dr. Amien Rais terhadap Pemerintah tentang soal kebangkitan PKI dan Pembagian sertifikat yang dianggap tidak berkaitan dengan reforma agraria yang ditanggapi oleh Luhut Binsar Panjaitan, Menko Maritim secara sangat keras bahkan bernada ancaman yaitu bahwa dia juga bisa mencari dosa-dosa - yg ditafsirkan ditujukan pada Dr. Amien Rais.

Lalu muncul tanggapan dari Dr. Drajad Wibowo, salah seorang elite PAN yang menjawab tanggapan luhut dengan pernyataan terbuka, bahwa jika terjadi apa-apa, PAN sudah tahu siapa aktor intelektualnya.

Kemudian bergulir menjadi polemik karena kemudia pers mulai melakukan wawancara keberbagai pihak sehingga semakin menyulut suasana, hingga terbit wacana untuk mempertemukan antara Dr. Amien Rais dengan LBP dalam forum debat terbuka.

Di atas kondisi yang demikian, tiba-tiba mengalir informasi, dari Direktur Greenomics Indonesia Vanda Mutia Dewi, bukan sekedar membenarkan dan membuktikan tentang kebenaran tentang penguasaan tanah/lahan perkebunan yg diberikan kepada warga keturunan yang dianggap mencederai rasa keadilan yang disitir oleh Dr. Amien Rais, melainkan dia menganjurkan agar Pak Amien mempelajari data tentang siapakah pihak yang bertanggungjawab memberikan ijin pengalihan hutan menjadi kebun kepada para pengusaha tsb.

Lalu Vanda menunjukkan hasil studi yang dilakukan oleh lembaganya, bahwa antara tahun 2004 - 2017, kawasan hutan yang dilepas utk perkebunan kepada pelaku bisnis adalah seluas lebih dari 2,4 juta hektare atau lebih dari 36 kali luas DKI Jakarta. Dari 2,4 juta hektare itu, 2,2 juta hektare atau 91% yang luasnya setara dengan 33 kali luas DKI jakarta, ijin-ijin perkebunannya dikeluarkan pd periode SBY.

Dan Zulkifli Hasan, Ketika itu adalah Sekjen PAN adalah sekarang Ketua MPR dan Ketua Umum PAN adalah Menteri Kehutanan SBY.

Sebagai Menteri Kehutanan, menurut Vanda Mutia Dewi memberikan perijinan kebun dengan luas 1,64 juta hektar atau hampir 25 kali lipat luas DKI, atau lebih kurang 70% dari total luas yang diberikan selama periode 2004 - 2017.  Itu belum termasuk luas areal yang diputihkan dari "Cap kawasan hutan" yang dilakukan oleh Zulkifli.

Sementara itu, MS Kaban, Ketika itu Ketua Umum PBB, yang menjabat menteri Kehutanan pd periode 2004 - 2009 menurut Vanda menerbitkan izin-izin perkebunan kepada para pelaku bisnis tertentu seluas hampir 600 ribu hektare atau lebih kurang sama dengan 9 kali luas DKI Jakarta. Atau sama dengan 24% dari total luas izin yang diberikan selama periode 2004 - 2017.

Sedangkan izin perkebunan yang telah diterbitkan oleh Siti Nurbaya (Nasdem), Menteri Lingkungan hidup dan Kehutanan periode Jokowi melalui kepala BKPM seluas 216 ribu hektare atau setara dengan tiga kali lipat luas DKI Jakarta, atau 8,9% dari total luas izin perkebunan yang diberikan kepada pelaku bisnis tertentu selama periode 2004 - 2017.

Sesuai data di atas, Greenomic meminta kepada Pemerintah utk dilakukan moratorium serta dievaluasi keabsahannya secara hukum.

Informasi yang disajikan oleh Greenomic di atas tentu saja bagaikan badai petir yang menyambar. Namun terlepas dari itu, dorongan untuk dilakukan evaluasi - bagaikan pukulan bola squas yang memantul kemana-mana. Dan salah satu pantulannya bisa memasuki ruang politik yg bisa merugikan Gerindra - yakni kekurangan suara untuk mengusung seorang Calon Presiden pada pemilu 2019 - terutama jika pantulan bola itu mengenai ulu hati PAN dengan Keras sehingga terpaksa membungkuk menahankan sakitnya. Hal yang sama bisa terjadi pada PBB dan Nasdem. Walau utk Nasdem lain tentu akibat dan konsekuensinya, namun tetap menunduk juga.

Sedangkan bagi para pengusaha pemegang ijin - mereka lebih tahu hukum bisnis dalam hal itu - kita sulit menduganya.

Jika kemungkinan itu yang terjadi, dan tak ada keberanian politik dan idealisme para elite partai utk mengubah keadaan, maka bukan mustahil akan terjadi untuk pertama kalinya, Pilpres 2019 ini hanya ada satu Calon.

Memang aneh demokrasi kita - ada Parpol, tapi semua lumpuh tak berdaya dihantam badai petir jakarta.

Mungkin hanya rakyat yang bisa mengubah keadaan ini. Karena mustahil jika mengharapkan korban disambar petir utk mengubah keadaan. Tetapi

semua itu terserah anda?

 

Jakarta, 4 Rajab 1439 H.

*Maiyasyak Johan, mantan wakil ketua Komisi Hukum DPR.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement