Selasa 20 Mar 2018 04:19 WIB

Penyelamatan Danau Maninjau Dikejar Waktu

Pada Februari 2018, sedikitnya 160 ton ikan dilaporkan mati di keramba Danau Maninjau

Warga menangkap ikan rinuak menggunakan kain kelambu di Danau Maninjau, Agam, Sumatra Barat. (Ilustrasi)
Foto: ANTARA/Iggoy el Fitra
Warga menangkap ikan rinuak menggunakan kain kelambu di Danau Maninjau, Agam, Sumatra Barat. (Ilustrasi)

Oleh Sapto Andika Candra

Wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Kejadian kematian ikan secara massal di Danau Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, terus berulang dalam setahun belakangan. Catatan pemerintah, sepanjang 2017 telah terjadi lima kali kejadian kematian ikan dalam jumlah besar. 

Total, sebanyak 1.600 ton ikan mati akibat kondisi ekosistem Danau Maninjau yang tak lagi seimbang. Kejadian terakhir pada Februari 2018, sedikitnya 160 ton ikan dilaporkan mati di keramba jaring apung Danau Maninjau. Ikan-ikan ini mati akibat keracunan zat amonia yang dihasilkan dari endapan sisa-sisa pakan dan kotoran ikan.

Amonia terbentuk dari endapan feses ikan dan sisa pakan ikan. Angin kencang yang terjadi bersamaan dengan hujan deras lima bulan terakhir mengangkat amonia ke atas permukaan air dan mengurangi kandungan oksigen yang ada. 

Kondisi itu lah yang membuat ikan-ikan di Danau Maninjau 'mabuk' karena kekurangan oksigen dan berujung kematian massal. Menanggapi kondisi ini, pemerintah tak tinggal diam. Pemerintah Kabupaten Agam misalnya, sudah mengingatkan pembudidaya untuk mengurangi aktivitasnya di Danau Maninjau. 

Pembudidaya juga diminta mengalihkan aktivitas budidaya ikan dari danau ke kolam air deras di sepanjang Sungai Antokan. Pembudidaya juga ditawarkan potensi budidaya ikan kolam air tenang, kolam terpal, dan jenis budidaya air tawar lainnya.

Wakil Gubernur Sumatra Barat Nasrul Abit mengungkapkan, Pemerintah Provinsi Sumbar menyusun zonasi kawasan budidaya ikan di Danau Maninjau. Zonasi ini untuk mengatur lokasi mana saja yang diperbolehkan bagi pembudidaya untuk menjalankan aktivitas usahanya. 

Selain itu, pemerintah juga berencana menekan jumlah keramba jaring apung (KJA) di Danau Maninjau secara bertahap. Nasrul mengatakan, idealnya hanya ada 6 ribu keramba ikan di Danau Maninjau. Angka ini jauh di bawah kondisi hingga akhir 2017 sebanyak 17 ribu keramba.

Pemerintah, lanjut Nasrul, akan menata aktivitas budidaya di Danau Maninjau termasuk dari segi jumlah dan lokasinya. Meski begitu, Nasrul menegaskan upaya ini akan merangkul seluruh pihak termasuk tokoh adat dan pengusaha agar tidak menimbulkan gejolak sosial. 

Apalagi, masyarakat di sekitar Danau Maninjau sudah lama bergantung pada aktivitas budidaya ikan dengan KJA. "Selain itu, tahun 2018 ini kami akan selesaikan analisis dampak lingkungan (Amdal) dan tata ruang," ujar Nasrul, Senin (19/3).

Selain zonasi, pemerintah juga sedang berencana menyediakan lokasi pembuangan endapan sisa pakan ikan yang menjadi sumber racun bagi ikan-ikan di Danau Maninjau selama ini. Lebih dari seribu ton sisa pakan ikan akan dibuang di tiga lokasi akhir yang disiapkan pemerintah. 

Nasrul menyebutkan, lokasi pembuangan sisa endapan pakan ikan akan memanfaatkan lahan yang tidak dihuni warga, tak jauh dari bibir danau. "Mungkin disedot dan dibuang ke sana sehingga bisa jadi reklamasi. Mengangkut tak jauh dan efek sosial tidak ada. Kami maunya sekali penanganan ini tak ada masalah sosial," katanya.

Berbagai langkah yang disiapkan diharapkan mampu menjadi solusi atas berulangnya kematian ikan secara massal di Danau Maninjau. Apalagi dengan cuaca ekstrem yang terjadi akhir-akhir ini, langkah penyeimbangan eksosistem di Danau Maninjau semakin mendesak. 

Frekuensi hujan deras yang sering terjadi membuat gumpalan endalan sisa pakan dan kotoran ikan di dasar danau merangkak naik ke permukaan danau dan meracuni ikan yang ada. Dari sekian masalah yang bertumpuk di Danau Maninjau, persoalan sedimen sisa pakan dan kotoran ikan menjadi yang paling sulit diselesaikan. 

Nasrul menyebutkan, pekan ini tim dari Pemprov Sumbar akan turun langsung ke lapangan untuk melakukan survei lokasi pembuangan sementara sedimen dari dasar danau. "Persoalan sedimen butuh anggaran besar. Misalnya, kalau sedimen itu dibawa keluar 50 km dari danau, anggaran bisa triliunan. Kami cari alternatif," kata Nasrul.

Wakil Bupati Agam Trinda Farhan Satria menambahkan, pengerukan sedimen kotoran dan pakan ikan di dasar Danau Maninjau memang menjadi ganjalan terbesar untuk menyelamatkan ekosistem danau. Alasannya, lanjutnya, adalah anggaran yang terbatas. Ia mendesak Pemerintah Provinsi Sumbar dan pemerintah pusat untuk turun tangan mengatasi hal ini lantaran upaya pengerukan harus segera dilakukan. 

Menurutnya, endapan sisa pakan dan kotoran ikan di dasar Danau Maninjau merupakan alasan paling wahid yang membuat ratusan ton ikan mati dalam setahun belakangan. "Sedimen ini kompleks dan anggaran besar sekali. Kami harap ini bisa jalan dan koordinasi dengan provinsi. Kalau yang lain sudah jalan terus," katanya.

Pemerintah Kabupaten Agam, lanjut Trinda, telah menyiapkan 11 titik sebagai opsi lokasi penampungan sedimen sementara. Seluruh titik sudah dilakukan kajian teknis, menyisakan hitung-hitungan sewa antara pemerintah dengan pemilik lahan, termasuk masyarakat adat. Pemkab Agam menargetkan proses pengerukan sedimen dan pemindahan ke lokasi penampungan sementara bisa dilakukan pada 2019 mendatang. 

Sementara untuk tahun 2018 ini, pemerintah masih menyiapkan analisis dampak lingkungan (Amdal) dan proyek perencanaan fisik atau DED (Detail Engineering Design) terkait upaya pemindahan sedimen. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement