Selasa 20 Mar 2018 00:42 WIB

Din dan Said Aqil, Cawapres Kuat dari Kalangan Islam?

Din Syamsuddin dan KH Said Aqil memiliki jaringan luas dan massa pendukung banyak.

Ilustrasi Mencari Pemimpin Umat
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Ilustrasi Mencari Pemimpin Umat

REPUBLIKA.CO.ID  Nama Din Syamsuddin dan KH Said Aqil Siroj muncul sebagai kandidat calon wakil presiden yang berasal dari kalangan Islam. Kedua nama ini disebut-sebut sejumlah pengamat sangat layak mendampingi kandidat capres baik Joko Widodo maupun Prabowo Subianto.

Jokowi dan Prabowo berasal dari trah nasionalis sejati yang dalam Pilpres 2019 membutuhkan pendamping yang berasal dari kalangan Islam. Banyak nama muncul di sini, mulai dari Tuan Guru Bajang (Zainul Majdi), Muhaimin Iskandar, Anies Baswedan, Gatot Nurmantyo, Mahfud MD, Jimly Asshiddique, hingga Sohibul Iman.

Pengamat Politik Muhammad Qodari berpendapat, faktor Islam (kalangan agamis) menjadi sangat penting bagi siapapun kandidat capres mendatang. Qodari mengatakan, kalangan agamis masih menjadi pasangan yang pas bagi Jokowi dan Prabowo dalam Pilpres 2019.

Pasalnya, selain memiliki massa solid dan tersebar, mereka mampu mengatasi isu-isu agama yang diperkirakan masih mewarnai pesta demokrasi tahun depan. Kalangan agamis di sini tentuntya yang memiliki basis massa dan pengaruh kuat. Nama Din Syamsuddin dan KH Aqil pun menjadi pilihan penting.

Memang, Qodari mengakui, khusus Jokowi, misalnya, akan sulit apabila memilih di antara mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Ketua Umum PBNU sebagai pasangan pada Pilpres 2019. Sebab, Jokowi harus menghadapi risiko akan timbulnya kecemburuan dari salah satu pihak.

Sebagai kalangan agamis yang terbilang konsisten, Din dan KH Aqil memiliki jaringan luas dan massa pendukung banyak. Meski dua poin ini berpotensi besar untuk meningkatkan elektabilitas Jokowi, di sisi lain juga bisa menjadi bumerang.

Untuk mengantisipasi permasalahan ini, Jokowi bisa memilih sosok yang berada di tengah-tengah kedua pihak. Qodari menyebutkan nama mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dan Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddique.

Menurut Qodari, baik Mahfud maupun Jimly masih memiliki latar belakang santri tapi tidak terlalu condong ke satu pihak antara Muhammadiyah ataupun NU. "Dalam situasi ini, Jokowi harus bertemu dan berpasangan dengan orang-orang yang resistensinya paling rendah dari semua kelompok," ujar direktur eksekutif Indo Barometer tersebut.

Pada Februari, Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri mengumumkan pencalonan Jokowi sebagai capres dari PDIP. Ada delapan partai yang mendukung Jokowi maju, yakni PDIP, Nasdem, Partai Solidaritas Indonesia, Partai Golkar, PPP, Hanura, Perindo, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).

Politisi PDIP Masinton Pasaribu memastikan, partainya terbuka bagi siapa pun yang ingin mengajukan diri sebagai pendamping Jokowi. Tidak terkecuali Din Syamsudin dan KH Aqil Siroj. Juga, kader PDIP sendiri, Puan Maharani, yang sering digadang-gadang sebagai cawapres.

Masinton mengatakan, PDIP tidak pernah mendikotomikan kalangan nasionalis dengan agamis, militer dengan sipil, maupun masyarakat Jawa dengan non-Jawa. "Semuanya adalah elemen kebangsaan, di mana kami terbuka untuk mereka," ujarnya, Senin (19/3).

Bagi Masinton, poin paling penting adalah siapa pun yang kelak menjadi pasangan Jokowi harus memiliki satu visi dengan PDIP. Yakni, memprioritaskan penegakan prinsip Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika serta memperkuat kebangsaan.

Masinton menyambut baik atas banyaknya kriteria dan nama yang dicalonkan untuk mendampingi Jokowi dalam pilpres 2019. Namun, untuk mengerucutkan penawaran-penawaran tersebut, ia melihat bahwa PDIP masih harus melakukan kajian terlebih dahulu sebelum membuat keputusan akhir.

Saat ini, Masinton mengakui, PDIP masih terus melakukan survei dan studi untuk menentukan kriteria calon wakil presiden yang mendampingi Jokowi nanti. "Baik itu dari sisi elektabilitas dan bisa saling bekerja sama. Kami sedang kaji itu," ucap anggota Komisi III DPR itu.

Ketua DPP PDIP Arteria Dahlan menyambut baik tiga nama yang disebut dari kalangan agamis untuk maju menjadi calon wakil presiden pendamping Jokowi. Arteria mengatakan, ketiga nama itu memiliki karakter profesional, relevan dan berkompeten dalam menjalakan tugasnya selama ini.

"Mereka juga mampu mengisi ruang kekosongan, di mana selama ini Jokowi memiliki kesan jauh dari Islam," ucapnya.

Tapi, Arteria mengakui, ketiga nama (Din, KH Aqil, Mahfud) itu masih dalam kategori alternatif. Ada beberapa poin lain yang harus dipertimbangkan. PDIP, bersama Jokowi, juga telah membentuk tim secara informal untuk sebisa mungkin menggali sosok potensi lain yang dapat bekerja sama dan diterima oleh masyarakat.

Saat ini, menurut Arteria, tim tersebut tengah melakukan penyaringan dan penjaringan terhadap beberapa nama yang dinilai layak mendampingi Jokowi dalam Pilpres 2019 nanti. Baik nama yang sudah diajukan dari sejumlah partai maupun nama lain.

Dalam proses seleksi ini, PDIP memiliki sejumlah pertimbangan, termasuk di antaranya yang disebutkan Arteria adalah nyaman dan bisa diterima oleh Jokowi. "Cawapres terpilih juga harus bisa kerja, mengetahui posisi dan harus berbuat apa serta siap ditempatkan seperti apa pun," ucap anggota Komisi III DPR tersebut.

Din merasa terhormat

Din Syamsuddin merasa terhormat dan tersanjung dengan adanya dukungan dari berbagai pihak yang mendorong dirinya maju pada Pilpres 2019. Din mengatakan, sangat manusiawi jika ada yang mau dan bersedia maju di Pilpres.

Tapi, Din menyadari bahwa mengajukan diri menjadi bagian dari Pilpres 2019 tidak semudah itu. Sesuai dengan konstitusi, pencalonan presiden dan wakil presiden adalah kewenangan partai politik atau gabungan partai politik.

"Begitu pula, sebagai Muslim, saya memahami pesan agama agar kita tidak boleh ambisius untuk sebuah jabatan, walau kalau diminta dan mampu maka jangan menolak. Menurut agama pula, kepada orang yang ambisius mencari jabatan agar tidak diberi jabatan (tidak dipilih)," kata Din.

Maka dari itu, ia ingin mengamalkan ajaran Islam itu dan tidak mau memobilisasi dukungan. Kepada warga Indonesia yang sudah berhak untuk menyumbangkan suara, Din berpesan agar tidak memberikan jabatan pada orang-orang ambisius. Sebab, karakter tersebut berpotensi besar untuk menghancurkan tatanan negara di kemudian hari.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement