Senin 19 Mar 2018 18:07 WIB

Lebih Aman Jika Lahan tak Dibakar

Pembasahan gambut bisa mengurangi emisi karbon.

Lokasi restorasi gambut di Kepulauan Meranti.
Foto: Muhammad Hafil/Republika
Lokasi restorasi gambut di Kepulauan Meranti.

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh  Muhammad Hafil / Wartawan Republika.co.id

Dua tahun sudah warga di Desa Lukun, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, takut membakar hutan dan lahan untuk membuka perkebunan. Mereka trauma dengan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) hebat pada 2015 dan tahun-tahun sebelumnya.

Dulu, kami membuka lahan memang dengan membakar. Lebih murah dan cepat. Tapi dampaknya terjadi karhutla,” kata Zainal, petani sagu di Desa Lukun, kepada Republika.co.id, belum lama ini.

Saat ini, mereka sudah tidak mau lagi membuka lahan dengan cara membakar lahan. Karena, lahan yang dibuka untuk perkebunan sagu semuanya ada di atas lahan gambut yang sangat mudah terbakar.

Apalagi, sejak 2016 lalu, mereka sudah mendapat edukasi dari Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk tidak lagi membakar lahan. Solusinya, BRG mengajarkan cara membuka lahan dengan cara yang lebih aman.

Yaitu, warga membuka lahan dengan cara menebang pohon atau semak di lokasi yang akan dijadikan perkebunan, kemudian dibersihkan. Untuk pohon yang besar, warga mengupas kulit di pangkal batang pohon, sehingga pohon tersebut bisa mati sendiri. “Prosesnya memang lebih lama tapi bisa mencegah karhutla,” kata Zainal.

Selain itu, BRG memberikan bantuan agar warga membuat sekat-sekat kanal. Sehingga, kanal-kanal yang dialiri air dari hutan itu tidak mengalir percuma ke laut. Air juga bisa ditampung dan menjaga lahan gambut tetap basah. 

Zainal mengakui memang masih ada satu hingga dua warga yang masih nakal dengan membakar lahan. Namun, setidaknya, dengan sekat kanal itu dampak yang dihasilkan dari membakar lahan itu tidak terlalu besar karena lahan gambut bisa tetap basah, walaupun di musim kemarau.

Manfaat lain dari sekat kanal adalah warga bisa membudidayakan sejumlah tanaman dan ikan dari air kanal tersebut. Menurut Zainal, sebelum BRG memberikan edukasi seperti itu, warga tidak pernah ada yang membudidayakan tanaman dan ikan dari air kanal tersebut.

photo
Sekat kanal di Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Sekat kanal berfungsi untuk menjaga lahan gambut tetap basah. Sehingga, bisa mengurangi emisi karbon. Foto: Muhammad Hafil/Republika

Kepala Desa Lukun Lukman mengatakan, berdasarkan pengalaman, jika ada karhutla di Kecamatan Tanah Tinggi Timur sangat sulit untuk dipadamkan. Namun, pernah ada terjadi karhutla karena ada warga yang masih nakal dengan membakar hutan maka penanggulangannya bisa cepat dilakukan. Karena, ada sekat kanal yang bisa membuat lahan gambut tetap basah.

Kepala BRG Fuad Nazier mengatakan, gambut dan iklim memiliki hubungan yang erat. “Jika lahan gambut dikeringkan, apalagi dibakar, karbon akan lepas ke atmosfer. Inilah yang membuat mitigasi perubahan iklim menjadi lebih berat,” kata Nazir saat berbincang dengan masyarakat dan pemerindah daerah Kabupaten Kepulauan Meranti di Kecamatan Tanah Tinggi Timur, Kepulauan Meranti, belum lama ini.

Jika gambut dikelola dengan baik, dengan terus dibasahi, besar kemungkinan emisi karbon akan berkurang. BRG, dibantu peneliti dari Center for International Forestry Research (Cifor), Universitas Gajah Mada (UGM) dan United Nation Development Programme (UNDP) sedang menghitung reduksi emisi karbon yang bisa dicapai dari kegiatan pembasahan gambut.

Menurutnya, kebakaran hutan yang melanda di kawasan gambut di Indonesia pada  2015, diklaim oleh beberapa peneliti telah mengeluarkan emisi karbon mencapai 800 juta ton hingga 1,6 giga ton. "Ada yang bilang akibat kebakaran di lahan gambut itu mengeluarkan emisi karbon setara dengan 10 persen dari pengeluaran emisi karbon dari semua pembakaran bahan bakar fosil secara global," kata Nazir.

Menurut Nazir, untuk lahan pertanian di Provinsi Riau yang banyak di atas lahan gambut memang perlu perhatian khusus. Karena, lahan perkebunan di Riau tidak sama dengan tanah mineral atau organik di provinsi lainnya, seperti Sumatra Barat.

Nazir meminta agar warga, perusahaan, dan pemangku kepentingan terkait untuk tidak melakukan kelalaian sedikit pun terkait pemanfaatan hutan dan lahan. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan terutama di wilayah perkebunan di atas lahan gambut.

“Berdasarkan peringatan BMKG (Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika) bahwa kemarau tahun ini lebih panjang dari tahun sebelumnya. Jadi, kelalaian yang bisa mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan harus dihindari,” kata Nazir.

Nazir percaya, masyarakat tidak ingin membuka lahan untuk perkebunan dengan cara membakar. “Namun, tolong kelalaian dalam memanfaatkan api seperti memasak harus dihindarkan sehingga tidak terjadi kebakaran,” kata Nazir.

Sementara, terkait upaya pencegahan di Kepulauan Meranti itu, BRG  akan membangun 108 unit sekat kanal di pada 2018 ini. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk upaya restorasi gambut di sana.

"Untuk rencana restorasi gambut 2018 di Kabupaten Kepulauan Meranti, BRG akan memfasilitasi pembangunan 26 unit sekat kanal di Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) Pulau Padang dan 82 unit sekat kanal di KHG Pulau Tebing Tinggi," kata Nazir.

Selain sekat kanal, Nazir mengatakan, untuk di KHG Pulau Padang juga akan dibangun 26 sumur bor dan revitalisasi dua paket. Sedangkan di KHG Tebing TInggi akan dibangun delapan unit sumur bor dan revitalisasi dua paket.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement