Senin 19 Mar 2018 05:23 WIB

Ekonomi Indonesia dan Mengelola Risiko Persepsi

Ledakan fiskal seperti yang dikhawatirkan beberapa kalangan akan sulit terjadi.

Iman Sugema
Foto:

Makanya banyak proyek yang mangkrak. Saya tanyakan, Anda mau pilih makelar proyek atau BUMN? Mereka jawab, tentu saja yang penting adalah hasil akhir yang baik. Tidak masalah apakah pemenang tendernya itu BUMN atau perusahaan swasta.

Dalam beberapa bidang, swasta menengah dan kecil tidak bisa digantikan oleh BUMN. Contohnya adalah pembangunan perumahan bersubsidi. Sampai saat ini, pemasok rumah bersubsidi 98 persen adalah swasta. Developer lokal di tingkat kabupaten dan kota merupakan pemain yang paling dominan.

Jangankan BUMN, perusahaan properti besar sekali pun kalah saing dengan mereka. Penjelasannya sederhana saja. Mereka lebih menguasai situasi bisnis, sosial, dan birokrasi lokal. Jadi, mereka bisa bergerak lebih cepat dan dengan biaya yang lebih murah. Bagi mereka, saat ini merupakan periode emas.

Namun, memang untuk perusahaan yang lambat menyesuaikan dengan perubahan orientasi kebijakan, mereka banyak mengeluh dengan menurunnya penjualan rumah nonsubsidi. Itu merupakan masalah pilihan.

Kalau mereka tidak bisa menyesuaikan dengan perubahan maka secara alamiah mereka akan tersisih. Secara agregat, bisnis properti saat ini semakin membaik. Menjadi lebih baik lagi bagi pelaku yang mampu beradaptasi dengan arah perubahan pasar.

Perihal yang ketiga yakni mengenai pengaruh belanja infrastruktur terhadap risiko fiskal juga tak sepenuhnya dimengerti oleh investor luar negeri. Kita berani jamin bahwa beban fiskal tidak bisa naik secara semena-mena.

Undang-undang keuangan negara membatasi defisit fiskal maksimum tiga persen dari PDB. Jadi, sangatlah tidak mungkin ada ledakan beban fiskal. Semuanya bisa terukur dan karena itu menjadi lebih mudah untuk menyiapkan langkah kebijakan secara pre-emptive.

Dalam pengendalian risiko, selama semuanya dibatasi secara terukur, maka berbagai risiko menjadi lebih mudah untuk dikendalikan. Dalam situasi yang normal, hampir tak ada bahaya ledakan beban fiskal.

Tampaknya persepsi risiko memiliki memori yang panjang. Investor masih ketakutan dengan krisis ekonomi pada akhir Orde Baru. Walau kita sudah jauh berbeda, baik dari sisi struktur perekonomian maupun tata kelola pemerintahan, persepsi buruk seperti itu masih tetap membayangi.

Barangkali para dubes harus semakin banyak mengambil peran diplomasi ekonomi dan bisnis untuk meyakinkan bahwa kita sudah jauh berubah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement