REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas mengapresiasi langkah KPK mengumumkan penetapan tersangka terhadap calon kepala daerah (cakada) yang diduga melakukan korupsi. Sebab menurutnya, itu menjadi salah satu cara agar rakyat mendapatkan pemimpin berintegritas.
"Iya sebagai salah satu cara karena ada hak masyarakat. Jangan sampai diberikan pemimpin yang berlumuran duit dengan cara merampok supaya menang di pilkada. Mana ada rakyat yang mau seperti itu. Artinya ini juga perampokan hak rakyat di sektor kepemimpinan," kata dia kepada Republika.co.id, Ahad (18/3).
Busyro pun sebenarnya merasa heran mendengar pernyataan Menko Polhukam Wiranto terkait penundaan pengumuman penetapan tersangka dari kalangan cakada. Karena itu pernyataan tersebut menunjukkan pemerintah yang setengah hati dalam memberantas korupsi.
"Sudahlah, pemerintah ini kalau setengah hati soal pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK lebih baik diam, enggak usah keluarkan statement yang bikin rakyat makin mengurangi kepercayaannya kepada pemerintah. Lebih baik diam," tuturnya.
"Mengapa demikian? Banyak indikasinya, misal RUU KUHP yang dibahas DPR dan Pemerintah. Arahnya nanti UU KPK tidak lagi lex specialist dan KPK hanya lembaga pencegahan korupsi," kata wakil ketua KPK periode 2010-2014 ini.
Sebelumnya, Jumat (16/3) lalu, KPK menetapkan calon Gubernur Maluku Utara Ahmad Hidayat Mus (AHM) dan Ketua DPRD Kepulauan Sula Zainal Mus (ZM) sebagai tersangka. Keduanya diduga melakukan tindak pidana korupsi terkait pengadaan pembebasan lahan Bandara Bobong pada APBD tahun anggaran 2009 di Kabupaten Kepulauan Sula.
"KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan, dengan menetapkan dua orang sebagai tersangka yaitu AHM, Bupati Kepulauan Sula periode 2005-2010, dan kedua ZM, ketua DPRD Kabupaten Sula periode 2009-2014," ujar Wakil Ketua KPK Saut Situmorang saat itu.
Saut menjelaskan, pihaknya menduga AHM dan ZM telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain, atau korporasi terkait dengan pembebasan lahan Bandara Bobong Kabupaten Kepulauan Sula yang menggunakan APBD tahun anggaran 2009. Keduanya diduga melakukan pengadaan fiktif dari pengadaan pembebasan lahan Bobong pada APBD Tahun Anggaran 2009 di Kabupaten Kepulauan Sula.