Sabtu 17 Mar 2018 04:00 WIB

Membaca Langit, Sambil Membaca Kepergian Ilmuwan

Hawking sepanjang hidupnya menelisik apa yang terlihat dan tidak terlihat di langit.

Harri Ash Shiddiqie
Foto: dok.Istimewa
Harri Ash Shiddiqie

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Harri Ash Shiddiqie *)

Orang lebih suka membaca bumi. Dari bumi orang dapat berpakaian bagus, merangkul kekayaan, berkacak pinggang dengan hasrat syahwat dan kekuasaan.

Membaca langit atau membaca bumi adalah menyibak lipatan ilmu. Meski sekedar membaca arah kota dalam perjalanan bermobil atau membaca dosis obat sakit kepala.

Kita? Apa yang kita baca setiap hari? Tugas manusia beribadah kepada Allah. Semua bacaan harus mengerucut ke sana. Mengetahui peta, mengamati arah kota, meniti rute perjalanan agar tidak tersesat ketika silaturahmi kepada sanak saudara, itulah ibadah.

Bukan hanya peta di ilmu bumi, tetapi juga ilmu fisika, antropologi, tajwid, ilmu tanaman, ilmu memelihara lebah, semuanya harus dikayuh untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Tapi, bumi terlampau menggiurkan. Stephen Hawking mencermati langit. Sepanjang hidupnya ia menelisik apa yang terlihat dan tidak terlihat di langit. Tidak terlihat? Ya, Hawking tidak pernah melihat gravitasi, tidak pernah meraba Black Hole. Lewat fisika dan matematika dirinya yakin: Itu ada.

Bumi memang menggiurkan, Copernicus, Rene Descartes, Newton, Max Planck, Einstein, Paul Davis, juga menelisik lewat fisika dan matematika. Perbedaannya dengan Hawking, yang menyatakan dirinya atheis,  mereka sadar bahwa ada keagungan yang tidak bisa dilihat, tidak bisa dianalisis logika.

Jangankan langit dengan galaksi bintang yang jauhnya ribuan tahun cahaya, mimpi yang menghampar setiap hari, adalah misteri yang tidak bisa diurai matematika. Dengan rendah hati para ilmuwan itu menunduk, tunduk.

***

Tak tahu di mana letak salahnya, budaya baca di sekitar kehidupan kita tenggelam di bawah budaya omong-omong. Mulai omong kosong sampai debat kusir. Iringannya adalah budaya pasang telinga. Perbedaan sekecil kutu, di ulas, di mark-up, diberi bumbu.

Pasangan budaya omong dan telinga membentuk gurauan. Mereka membela diri sebagai sarana rekreasi, hiburan. Tapi keterlaluan. TV yang dihidupkan sore hari menampilkan  kuis lokal, sinetron, berikutnya dipilih kontes lomba musik, film, berita, lalu sepak bola, dan bila Ramadhan, saat sahur dipilih lawak. Berita juga sudah jatuh menjadi sarana hiburan untuk memuaskan rasa ingin tahu. Di mana ada longsor dan bencana, ke sana mereka akan berwisata.

Sejak sore layar TV ditatap untuk menghibur. Bukan tak ada waktu untuk membaca, tapi memang tak ingin membaca.  Tak ada pertambahan ilmu.

***

Iqro. Kitab suci Alquran sudah memerintahkan sejak berabad yang lalu. Ada yang tuli, ada yang tahu tapi tetap tak membaca. Ada yang membaca, sekedar saja.

Bandingkan seorang mahasiswa yang membuka buku statistiknya, menekuni bab uji hipotesa. Pasti, ada niat keras mengetahui apa yang dimaksud uji hipotesa. Bila sudah mengetahui, tapi masih membacanya, berarti ia ingin mengerti. Jika sudah mengerti dan ia masih tetap membaca lagi, ia ingin memahami. Jika sudah paham, dan masih membacanya lagi, ia ingin meneguhinya untuk menyelesaikan soal-soalnya.

Tak sedikit orang membaca Alquran, alhamdulillah, berpahala, syiar. Tapi, berapa yang punya niat menambah nilai dari proses membaca. Yang baru bisa membaca seharusnya menerapkan tajwid. Yang sudah bertajwid mulai menangkap terjemah setiap kata. Tak usah menunggu sampai menjadi pakar terjemah setiap kata. Sesekali waktu membaca dengan menelaah tafsir, Jala lain, Ibnu Katsir, dan sebagainya.

Jadi, setiap membaca seharusnya ada pertambahan nilai. Ada kemajuan tambah ilmu.

Hati sedang gundah, gelisah, suram? Membaca Alquran dengan tambahan ilmu tadi. Ketika ber-ta’awudz ditanamkan dalam hati, “Hamba ini lemah, mohon perlidunganMu, ya, Allah. Tanpa pertolongaMu, setan akan mengacaukan bacaanku, menggelincirkan khusyukku, mendorong gundah gulana lebih dalam agar lalai terhadapMu.”

Tatkala mengucapkan Basmalah dada juga bergetar, “Ya, Allah, selalu curahkan kasih sayangmu kepadaku, agar hatiku tenang, damai, indah dan semakin mencintaimu. Curahkan kasih sayangmu dengan menerima kebaikanku yang di masa lalu, di masa kini dan masa mendatang.”

***

Stephen Hawking telah tiada. Ia telah melihat langit, ia berusaha membacanya tapi hanya dengan logika bernama matematika dan fisika.

Kini, di alam yang lain sana Hawking pasti tahu, membaca itu juga membaca langit, karena datangnya kematian tak bisa diprediksi dengan grafik regresi dan persamaan.

Terlambat bagi Hawking menyadari bahwa membaca tidak hanya untuk bumi, untuk memenuhi hasrat memuaskan diri.

Membaca langit tidak hanya membaca baris-baris huruf yang tercetak di lembaran mushaf, tapi juga membaca dengan pertambahan nilai, penuh pendalaman huruf-huruf keimanan, takwa dan keihklasan. Itulah khusyuk, di setiap saat, apalagi ketika shalat, sejak kini sampai pun menjelang kematian.

Semoga itu kita. Amin.

*) Penyuka sastra dan teknologi, di Jember.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement