Rabu 14 Mar 2018 17:24 WIB

ICW: KPK Harus Umumkan Peserta Pilkada Tersangka Korupsi

Calon kepala daerah berstatus tersangka harus diumumkan agar publik tak salah pilih.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Andri Saubani
Koordinator Divisi Politik ICW Donal Fariz memberikan pemaparan terkait UU MD3, jumat (23/2).
Foto: Republika/Debbie Sutrisno
Koordinator Divisi Politik ICW Donal Fariz memberikan pemaparan terkait UU MD3, jumat (23/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta KPK tetap mengumumkan calon kepala daerah yang terindikasi terlibat korupsi. ICW meminta KPK mengabaikan anjuran pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menunda penetapan calon kepala daerah yang terindikasi korupsi.

Pernyataan Wiranto sebelumnya meminta KPK tunda penetapan tersangka calon kepala daerah terindikasi korupsi hingga pilkada berakhir, mendapat kritik banyak pihak. Pernyataan ini disampaikan Wiranto setelah pemerintah bersama instansi terkait (KPU dan Bawaslu) menggelar rapat koordinasi khusus (rakorsus) Pilkada 2018.

Walaupun ikut hadir dalam rapat tersebut, pihak KPU kemudian mengklarifikasi tidak pernah mengusulkan wacana tersebut kepada pemerintah. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai menilai wacana tersebut muncul dari satu arah yakni pihak pemerintah.

"Permintaan Menko Polhukam tersebut harus diabaikan oleh KPK," ujar Deputi Koordinator ICW, Ade Irawan dalam keterangan kepada wartawan, Rabu (14/3).

Pernyataan tersebut, menurut ICW berlawanan dengan upaya menjadikan proses demokrasi (pilkada) sebagai mekanisme menciptakan pemerintahan bersih. Sedangkan, pilkada menjadi ajang bagi masyarakat untuk memilih pemimpin mereka untuk lima tahun yang akan datang.

"Manakala kontestan pilkada tersebut merupakan orang yang bermasalah seperti terindikasi korupsi, seharusnya proses hukum bisa membantu masyarakat agar tidak salah pilih pemimpin daerah mereka," tegas Ade.

Menurut dia, jika pemerintah berada dalam garis yang jelas dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi, maka sesungguhnya pernyataan seperti ini harus dihindari. Lebih lanjut lagi, pernyataan dan usulan ini bisa dimaknai sebagai upaya secara tidak lansung untuk mengintervensi proses hukum.

Seharusnya, pemerintah bisa membedakan wilayah proses politik dan wilayah proses hukum yang tidak boleh diintervensi oleh siapapun. Pemerintah juga tidak perlu ragu, proses hukum yang dijalankan KPK tidak akan menghentikan proses politik.

Karena faktanya, penetapan tersangka oleh KPK terhadap lima calon kepala daerah 2018 tidak menghentikan atau mengganggu tahapan pilkada yang akan dilaksanakan daerah tersebut dan juga tidak menciptakan gangguan keamanan.

Peneliti Hukum pada Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Donald Fariz menambahkan pada saat yang sama, ICW juga meminta kepada KPK untuk lebih berhati-hati (prudent). Khususnya dalam memproses calon kepala daerah yang terindikasi korupsi dan tidak terbawa dalam arus politik.

"Jika memang telah memiliki dua alat bukti, segera tetapkan pelaku menjadi tersangka," kata Donald.

Ia menjelaskan ada tiga alasan bagi ICW, agar KPK mengabaikan dan menolak permintaan Menko Polhukan tersebut. Pertama, KPK adalah Lembaga Negara Independent yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bebas dari intervensi kekuasaan manapun (Pasal 3 UU KPK).

"Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tidak dapat meminta untuk mempercepat, menunda atau bahkan menghentikan proses hukum yang dilakukan KPK," ungkapnya.

Alasan kedua, pemerintah melalui Menko Polhukam telah mencampuradukkan proses politik dengan proses hukum. Penyelengaraan pilkada merupakan proses politik yang tidak boleh menegasikan dan menyampingkan proses hukum. Padahal, konstitusi menyebutkan Indonesia adalah negara hukum.

Dan alasan ketiga, menurut ICW, proses hukum oleh KPK bagian dari cara untuk menghadirkan para calon pemimpin daerah yang berkualitas dan berintegritas. Sebab mekanisme ini yang tidak dilakukan oleh partai dalam menjaring kandidat yang akan mereka usung.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement