Rabu 14 Mar 2018 15:12 WIB

Rektor IPB: Pembukaan Prodi Harus Fleksibel

Dia meminta Kemenpan RB juga mengakomodasi hal tersebut.

IPB
IPB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Jawa Barat, Dr Arif Satria meminta Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) untuk fleksibel terhadap regulasi pembukaan program studi (prodi) untuk menghadapi era disrupsi.

"Menristekdikti sudah melenturkan regulasi untuk pembukaan program studi baru, tapi pada kenyataannya untuk membuka program studi baru harus sesuai dengan nomenklatur dan ada persyaratan enam dosen untuk satu program studi tersebut, itu cukup berat bagi perguruan tinggi," ujar Arif usai penandatanganan nota kesepahaman kerja sama pembukaan prodi gizi dan pangan dengan Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) di Jakarta, Rabu.

Dia meminta perubahan aturan tidak hanya omongan dari Menristekdikti namun juga diterapkan dan dikoordinasikan ke instansi lain. "Katakanlah Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) bisa membuka prodi apa saja yang tidak sesuai dengan nomenklatur. Nah apa ada jaminan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) bakal menerima lulusan prodi tersebut. Pengalaman kami, justru begitu lulus tidak diakui dan tidak bisa ikut CPNS karena prodi lulusannya tidak sesuai dengan nomenklatur," jelas dia.

Dia meminta Kemenpan RB juga mengakomodasi hal tersebut. Begitu juga dengan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), karena jika prodi tersebut tidak terakreditasi, tidak akan banyak peminatnya.

"Ada dua hal yang patut diperhatikan yakni aturan mengenai nomenklatur dan aturan jumlah dosen. Dengan demikian, perguruan tinggi siap menghadapi era disrupsi dan sejalan dengan visi misi Presiden Jokowi dan Menristekdikti," jelas Satria.

Rektor UAI Prof Asep Saefuddin mengatakan jika regulasi nomenklatur dan jumlah dosen itu belum berubah, perguruan tinggi akan berat menghadapi persaingan. "Padahal era ke depan merupakan era "online", jadi aturannya harus yang fleksibel," kata Asep.

Asep mengatakan pemerintah perlu melakukan deregulasi pembentukan prodi baru karena saat ini terlalu kaku, misalnya nama prodi harus sesuai dengan nomenklatur.

"Susah diizinkan bila terlalu kaku dengan nomenklatur, akhirnya proposalnya harus diperbaiki dengan mengikuti nomenklatur yang ada. Akan tetapi, setelah diperbaiki, juga tidak otomatis disetujui," terang Asep.

Sebelumnya, Kemristekdikti menyatakan usulan prodi baru tidak harus sesuai dengan nomenklatur yang tertuang dalam Kepmenristekdikti 257/2017 dan lampirannya. Kepmenristekdikti 257/2017 tersebut mengenai nama program studi pada perguruan tinggi.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement