Rabu 14 Mar 2018 11:56 WIB

Akankah Yusril dan Calon PBB Jadi Alternatif Terbaik?

Tak mudah bagi PBB untuk melawan kekuatan kapitalisme lokal, barat, dan Cina.

Kepala Suku Maya, Adam Gaman bersama Ketua Umum PBB, Yusril Ihza Mahendra di Raja Ampat, Ahad (11/3).
Foto: dok. PBB
Kepala Suku Maya, Adam Gaman bersama Ketua Umum PBB, Yusril Ihza Mahendra di Raja Ampat, Ahad (11/3).

Oleh:  Maiyasyak Johan

Realitas politik begitu telanjang mempertontonkan bahwa pilpres 2019 sebenarnya tidak akan ada pertarungan gagasan tentang bagaimana menjadikan Indonesia sebagai bangsa dan negara yang benar-benar merdeka--bukan satelit dari kekuatan kapitalis global. Yang ada adalah pertarungan para pemilik partai dan oligarki untuk tetap berkuasa di Indonesia dan bagaimana porsi pembagian kekuasaan tersebut.

Tak ada pesan apa pun yang bisa dibaca dari partai pendukung Jokowi kepada anak bangsa ini--kecuali hanya hasrat untuk berkuasa. Di kubu ini, partai politik dan para politisinya bersaing dan berjuang untuk besaran porsi kekuasaan dalam koalisi yang mereka bangun.

Tidak lebih--tidak ada yang mendasar--selebihnya lips service serta janji-janji yang tak mengikat dan terlalu mudah diingkari. Selain belum pernah ada kekuatan yang cukup kuat untuk memberikan sanksi sosial dan politik, sedangkan kepentingan umat Islam tidak ada sama sekali dalam agenda mereka.

Sebaliknya, kubu Prabowo, yang terdiri atas Gerindra dan PKS yang selama ini memproklamasikan diri sebagai oposan, sayangnya tak memberikan tawaran yang menjanjikan juga, melainkan masih melangkah dengan pola yang hampir sama, yakni menunggu komando pemilik partai dan oligarkinya. Perbedaan kubu Jokowi dengan kubu Prabowo ini hanya pada isu dan janji-janji yang diusung.

Namun, tak ada yang mendasar yang bisa memberikan harapan esok Indonesia akan memasuki era penuh harapan jika mereka berkuasa dan sedikit mungkin harapan untuk umat Islam--tetapi itu pun tidak pasti. .

Sedangkan Demokrat, absolut sedang memainkan bola dan menunjukkan kepiawaiannya untuk bisa diterima di kubu Jokowi dengan suatu frame yang perlu dibicarakan lebih lanjut. Itu artinya, Demokrat juga sedang berjuang hanya untuk kepentingan politik pemilik partai dan oligarkinya saja.

Itu dengan kemungkinan jika tidak ada persesuaian maka kemungkinan akan membangun poros sendiri dengan PKB yang dianggap memiliki konstituen tetap, terutama di Jawa Timur.

Ada pun PPP, tidak ada yang melirik dan memperhitungkannya, kecuali membangun citra dengan frame narsisisme, yakni cuma memejeng foto ketua umumnya dengan Jokowi di medsos dan tempat lainnya. Di sini juga kepentingan umat Islam tak terlindungi dan tidak menjadi agenda.

                                                            

                                                              ******

Baik kubu Jokowi maupun kubu Prabowo serta Demokrat yang mencoba membangun kekuatannya di atas kejayaan dua periode yang lalu, kelihatannya tak ada yang secara sungguh-sungguh dan struktural memperhitungkan umat Islam secara politik--kecuali hanya diletakkan sebagai penambah suara.

Sekalipun tentu saja tak bisa kita hilangkan fakta bahwa kubu Prabowo dalam kasus penistaan agama, mendukung umat Islam yang menuntut ditegakkannya hukum dan keadilan dari sejak awal. Namun, langkah politik lebih lanjut, terutama yang berkaitan dengan berbagai proses seperti fitnah dan persekusi terhadap para ulama dan tindakan-tindakan lain yang mustahil tidak diorganisasi yang terus bekerja untuk memarjinalkan umat Islam, tidak terlihat ada sikap dari partai politik untuk melawannya.

Sehingga, tinggallah umat Islam berjalan di negeri ini bagai tak memiliki imam dan partai, bahkan partai politik yang mengaku partai Islam pun diam. Yang ada, hanya beberapa individu yang bisa dihitung dengan jari yang menyuarakan hak-hak konstitusional umat Islam dan membelanya.

Fakta yang menyedihkan ini seharusnya disadari oleh para intelektual dan umat Islam agar mereka tidak terus-menerus berada dalam posisi sebagai penyumbang suara yang paling tidak pernah dihargai di negeri ini, apalagi diajak bicara merumuskan kehidupan bersama di bawah naungan cita-cita proklamasi 1945.

Di atas kondisi umat Islam yang sangat memprihatinkan itu, lahir sebuah harapan. Bawaslu memutuskan bahwa PBB merupakan partai yang memenuhi syarat untuk ikut Pemilu 2019. Yang Lebih menarik adalah PBB, melalui ketua umumnya, Yusril Ihza Mahendra, membuat pernyataan politik bahwa PBB tidak mendukung Jokowi dan seterusnya.

Sikap politik ini memberikan harapan bagi umat Islam. Pertanyaan kita sekarang adalah: mampukah PBB mengusung misi untuk memperoleh kepercayaan umat Islam dalam memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya di Indonesia ini?

Ini adalah peluang sekaligus tantangan politik yang paling menantang bagi PBB. Jika PBB dapat mengelola tantangan ini menjadi peluang politik terbaik yang pernah ada bagi PBB maka itu sama artinya PBB bisa dan mesti mendapatkan setidak-tidaknya 35 persen dari 85 persen suara umat Islam Indonesia.

Mungkinkah PBB bisa mendapatkan suara sebesar itu? Saya yakin bisa, jika PBB mengedepankan akhlak Islam dalam mendekati umat dan semua elemen kekuatan umat Islam.

Tidak mudah memang, tetapi peluang terbuka. Menjadi alternatif capres yang prospektif yang mendapat dukungan luas umat Islam dan terbebas dari mafia politik oligarkis. 


Pertarungan politik pada 2019 ini memang tidak mudah bagi PBB karena negeri ini tidak atau belum bebas dari jaringan kapitalisme lokal dan kapitalisme Cina perantauan yang menguasai Asia Pasifik. Selain itu, ada tangan dan jaringan dari kapitalisme Global Western dan oriental yang tidak ingin peralihan kekuasaan mengganggu kepentingannya. Maka, mereka tak pernah ramah dengan Islam dan isu kebangkitan Islam.

Kita tunggu aksi PBB untuk membawa dan menggerakkan umat Islam Indonesia menjadikan PBB sebagai alternatif yg menjanjikan di pileg dan pilpres 2019.

Insya Allah.

 

* Maiyasyak Johan, mantan anggota DPR RI PPP.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement