REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Hoaks kesehatan merajalela. Digitalisasi karya ilmiah tentang kesehatan pun diyakini mampu menangkalnya.
Pernyataan tersebut muncul setelah survei Persatuan Wartawan Indonesia pada tahun 2017 lalu dilansir. Setelah ada data bahwa 44 persen lebih masyarakat mengonsumsi berita hoaks, Kemenkes bekerja sama dengan KPI untuk menghentikan iklan pengobatan alternatif
"Kita harus bisa membantu gerakan anti-hoaks dengan membuka akses ilmu pengetahuan," kata pakar teknologi informasi Ismail Fahmi dalam Pertemuan Perpustakaan Kesehatan di Hotel Melia Purosani, Yogyakarta, Rabu (14/3).
Keyakinan inisiator Indonesia OneSearch bahwa hoaks kesehatan penting untuk segera diberantas muncul ketika ia menilik search engine optimization (SEO) halaman pertama mesin pencari. Pencarian pertama mengarah ke pengobatan kanker, herbal, lalu pengobatan alternatif. Sama halnya ketika ia melakukan pencarian di Youtube.
Upaya-upaya pengobatan nonmedis pun telanjur dipercaya sebagai cara ampuh karena sumber informasi masyarakat sebatas googling. Muncullah ide Fahmi untuk memakai keilmuan sebagai penangkal hoaks.
"Di perpustakaan banyak riset tentang hal-hal (pengobatan) tersebut. Kenapa malah tidak muncul di SEO? Maka, misi kita sekarang bagaimana publik dapat informasi benar dan otoritatif tentang pengobatan medis," kata Fahmi.
Secara khusus, ia merancang mesin pencari yang terhubung dengan seluruh perpustakaan, khususnya perpustakaan di lingkungan kesehatan. Terlebih dahulu perpustakaan Kemenkes yang tergabung dengan laman Katalog Induk Nasional Kesehatan (KINK). Perpustakaan Kemenkes sendiri menaungi sekira 300 perpustakaan, seperti di badan litbang, pendidikan politeknik kesehatan, rumah sakit, perpustakaan dan lokal litbang.
"Pemanfaatan kink.onesearch.id memudahkan publik mencari ke seluruh repositori dan tak mencari beberapa kali ke tempat berbeda. Bedanya Onesearch bisa di handphone,"ungkap Fahmi.
Di tab kiri terhubung langsung dengan link perpustakaan. Kemudian, ada link balik yang berfungsi untuk meningkatkan jumlah pengunjung website. Onesearch akan mengantar langsung ke sumber yang dituju, terutama di e-resources Perpustakaan Nasional untuk akses jurnal internasional gratis dan terbitan dalam negeri.
"Onesearch digunakan tanpa log in, link sumber full text dan hasil paling pas untuk pencari," ujar Fahmi.
Terbukanya akses karya ilmiah yang diyakini menangkal hoaks kesehatan juga diungkapkan oleh Ketua Forum Perpustakaan Digital Prof Zainal Arifin Hasibuan, Ph.D.
Ia mengungkapkan fakta bahwa sering kali pengetahuan tidak terekam ataupun tidak terbuka. Kalaupun terbuka, masyarakat tidak tahu kalau ada pengetahuan di dalamnya. "Digitalisasi itu keniscayaan bahwa sehari-hari kita tak terlepas dari mobile technology. Memerangi hoaks butuh peran pustakawan yang mengeksplisitkan ilmu," kata Guru Besar Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia ini.
Apalagi, katanya, jika ilmu pengetahuan tak disebarkan maka akan lenyap dengan sendirinya. Tantangannya juga terletak di kultur masyarakat Indonesia yang cenderung suka mengoceh. Hal ini Prof Zainal lihat dari maraknya twit di media sosial tanpa sumber yang jelas.
"Maka, selain digitalisasi, peran pustawakan harus direvitalisasi dari dokumentasi, pengelolaan, dan harus bisa presentasi," ujar Prof Zainal.
Dari kajian yang ia lakukan, konten pengetahuan di Indonesia di dunia maya memang sangat minim. Sehingga, ia pun mulai mengembangkan Indonesia Open e-Resource sebagai salah satu sumber referensi ilmu.
Kabag Pelayanan Masyarakat Kemenkes RI drg. Widyawati, MKM pun membuka kesempatan seluas-luasnya bagi jejaring perpustakaan kesehatan untuk bergabung dengan kink.onesearch.id.
"Supaya semua karya cetak dapat dibuka untuk umum dan kami berupaya mendigitalkan semua karya tersebut karena kami meyakini, digitalisasi karya ilmiah kesehatan dapat menangkal hoaks," kata Widyawati menjelaskan.