REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua dan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat enggan menanggapi desakan sejumlah kalangan agar dirinya mundur dari jabatannya. Desakan agar Arief Hidayat mundur dari jabatannya ini datang dari puluhan guru besar yang juga telah mengirimkan surat kepada MK.
"Oh kalau itu saya tidak pernah berkomentar. Saya sudah katakan yang lalu saya nggak akan komentar lagi," ujar Arief di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Selasa (13/3).
Ia mengaku enggan menanggapi desakan mundur tersebut lantaran tak ingin membuat gaduh. Terlebih lagi, kata dia, menjelang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada), MK juga akan fokus menangani kasus-kasus pilkada.
"MK ini mau tangani pilkada. Nanti kalau saya komentar gaduh nggak elok. Indonesia kalau selalu suudzon gaduh nggak bisa maju. Mari kita melangkah ke depan dengan sebaik-baiknya," kata dia.
Arief didesak untuk mundur dari jabatannya lantaran selama menjabat sebagai ketua MK ia telah terbukti dua kali melakukan pelanggaran kode etik. Menanggapi hal itu, Arief pun meminta agar menanyakannya kepada dewan etik.
"Itu nanti dipelajari sendiri tanya Dewan Etik saya melanggar apa. Apakah saya harus mundur atau tidak tanya Dewan Etik," tambah Arief.
Seperti diketahui, pada 2016 Arief Hidayat pernah mendapatkan sanksi etik berupa teguran lisan dari Dewan Etik MK. Pelanggaran yang dilakukannya terkait dengan pembuatan surat titipan kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan Widyo Pramono untuk membina seorang kerabatnya.
Dan yang kedua kalinya, Dewan Etik MK menjatuhkan kembali sanksi teguran lisan kepada Arief lantaran terbukti melakukan pelanggaran ringan. Ia dilaporkan melakukan pelanggaran kode etik sebelum dilakukannya proses uji kelayakan dan kepatutan terkait pencalonannya kembali sebagai hakim konstitusi di DPR. Ia pun melanggar kode etik karena telah bertemu dengan sejumlah pimpinan DPR.