Sabtu 10 Mar 2018 09:15 WIB

Korupsi Penyelenggara Pilkada

Suap terhadap penyelenggara pilkada seperti di Garut bukan sesuatu yang baru.

Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Emerson Yuntho.
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Emerson Yuntho.

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

Menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) 2018, praktik korupsi suap tidak saja menimpa calon kepala daerah, tapi mulai juga merambah ke penyelenggara pilkada. Hal ini dibuktikan setelah Komisioner Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Garut Ade Sudrajat dan Ketua Panitia Pengawas Pemilu Daerah (Panwaslu) Garut Heri Hasan Bisri terjerat Operasi Tangkap Tangan karena dugaan menerima suap pada Sabtu (24/2) lalu.

Keduanya ditangkap oleh Tim gabungan dari Satuan Tugas (Satgas) Anti Politik Uang Bareskrim Mabes Polri bersama jajaran Polda Jawa Barat. Ade dan Heri diduga menerima suap dalam bentuk uang dan kendaraan roda empat untuk meloloskan salah satu calon kepala daerah dalam pilkada di Garut.

Satgas juga menangkap Dindin Wahyudin, anggota Tim Sukses dari pasangan Soni Sondani-Usep Nurdin yang maju pilkada melalui jalur independen. Pihak kepolisian diberitakan menjerat pelakunya dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Praktik suap terhadap penyelenggara pemilu di Garut merupakan kasus pertama yang berhasil diungkap oleh Satgas Anti Politik Uang yang baru terbentuk pada awal Januari 2018. Satgas Anti Politik Uang yang dibentuk Kepolisian berkerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi bertujuan untuk memberi efek pencegah terhadap pihak-pihak yang ingin berbuat curang dalam Pilkada 2018. Satgas bertugas untuk mengawasi permainan politik uang pada empat tahapan pilkada, yaitu pendaftaran, pemilihan, penetapan calon, dan saat pengajuan keberatan ke Mahkamah Konstitusi.

Penangkapan terhadap komisioner KPUD dan Ketua Panwaslu di Garut tidak saja memprihatinkan, tetapi juga merupakan skandal demokrasi yang memalukan. Penyelenggara pilkada yang diharapkan dapat mewujudkan pilkada yang berintegritas, tapi faktanya secara bersama melakukan kongkalingkong dengan menerima uang suap dari calon kepala daerah. Ironisnya, penyuapan ini terjadi kurang dari sebulan setelah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mendeklarasikan 'Tolak dan Lawan Politik Uang dan Politik SARA untuk Pilkada 2018' berintegritas.

Meski demikian, praktik suap terhadap penyelenggara pilkada seperti yang terjadi di Garut bukan sesuatu yang baru. Peristiwa ini justru menambah deretan kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara pemilu di daerah.

Dalam pantauan ICW selama lebih dari tujuh tahun terakhir, terdapat sedikitnya 72 kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara pilkada, yaitu KPUD dan Panwaslu dan telah atau masih ditangani oleh kepolisian ataupun kejaksaan. Sebagian kasus telah selesai diproses penyidikannya dan pelakunya dijebloskan ke penjara karena terbukti melakukan korupsi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement