Sabtu 10 Mar 2018 08:26 WIB

Balada Sepotong Kain di Kampus UIN

Jangan sampai kampus justru yang memunculkan stigma cadar adalah terorisme

Ani Nursalikah
Foto: dok. Pribadi
Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ani Nursalikah*

Keriuhan pekan ini dipersembahkan oleh perdebatan soal boleh dan tidaknya seorang perempuan mengenakan cadar ketika berada di kampus. Berawal dari surat resmi rektor UIN Sunan Kalijaga (Suka) di Yogyakarta, Jawa Tengah yang akan memecat mahasiswi yang tidak mau melepas cadar mereka saat beraktivitas di kampus.

Kampus bahkan sudah mendata jumlah mahasiswa yang bercadar. Jumlahnya ada 42 orang dan mereka akan mendapatkan pembinaan secara bertahap.

Baru sehari berselang kita memperingati Hari Perempuan Internasional. Tapi, polemik macam begini masih saja mengemuka.

Perempuan boleh memakai apa yang dia mau. Perempuan bebas mengenakan pakaian yang dia suka. Sama halnya seperti perempuan bisa memakai tanktop, rok mini atau kaos.

Apalagi ini merupakan kebebasan berekspresi terkait keyakinan seseorang. Saya pikir tidak ada yang berhak mengatur bagaimana seorang perempuan berpakaian, selama itu tidak mengganggu ketertiban dan kenyamanan. Apa pun yang mengekang kebebasan berekspresi bisa dipahami sebagai hal diskriminatif.

Lantas, apa hubungannya seorang perempuan bercadar dengan prestasi akademik dia? Jika kampus beranggapan para perempuan itu radikal atau berpaham ekstrem yang mengancam NKRI, sebaiknya hal itu harus dibuktikan.

Memakai cadar apakah berkaitan dengan radikalisme harus ditunjukkan dengan bukti dan fakta yang akurat. Jangan sampai justru kampus sendiri yang menciptakan stigma mereka yang bercadar itu patut dicurigai berpaham radikal.

Kampus perlu mencari tahu bagaimana pemahaman mahasiswi tersebut terhadap cadar. Apakah terkait ideologi atau tidak. Selama hanya mengenai ekspresi pribadinya dalam memaknai agamanya, tidak ada alasan melarang pemakaian cadar.

Banyak pihak yang sudah buka suara soal perdebatan larangan memakai cadar. Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) UIN Suka sepakat dengan pembinaan kepada mahasiswi. Presiden Mahasiswa UIN Suka, Muhammad Romli mengatakan, jika perlu, mahasiswi yang terbukti anti-Pancasila juga dapat dipolisikan atas tuduhan makar.

Tapi, bukan cuma kepada mahasiswi bercadar lho. Kampus juga mesti bisa mengidentifikasi mahasiswanya yang terindikasi radikal yang berpakaian biasa-biasa saja.

Ketua Komnas Perempuan Azriana mengatakan Komnas Perempuan melihat pengaturan cara berbusana sebagai bagian dari kontrol atas tubuh. Selama ini, menurutnya, pengaturan berpakaian lebih banyak ditujukan kepada perempuan.

Sekretaris Jendral MUI Anwar Abbas menjelaskan, memakai cadar merupakan masalah furuiyah atau cabang di dalam agama Islam. Sebagian ulama berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat, sebagian lainnya mengecualikan wajah dan telapak tangan sebagai bagian dari aurat wanita. Dalam hal inilah dibutuhkan toleransi dan saling menerima.

Alasan pedagogis yang diungkapkan UIN Suka juga dipertanyakan karena seberapa penting bagi dosen untuk menatap wajah para mahasiswanya dan mengenalinya satu per satu? Dalam kehidupan akademik di universitas, mahasiswa dinilai berdasarkan aktif tidaknya di kelas, tugas yang dikerjakan, nilai ujian tengah semester dan akhir semester.

Tidak ada jaminan pula dosen bisa mengingat satu per satu mahasiswanya. Pengalaman saya, dosen hanya ingat mahasiswa yang aktif dan rajin menjawab pertanyaan dosen atau mahasiswa yang bengal.

Sejatinya, hanya kampus UIN Sunan Kalijaga dan seluruh penghuninya yang tahu benar permasalahan ini. Kita tunggu saja sampai dimana polemik ini berakhir atau akankah berakhir?

 

*)Penulis adalah Redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement