REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Forum Rektor Indonesia (FRI) meminta semua perguruan tinggi (PT) Indonesia untuk selalu menjunjung tinggi hak asasi mahasiswa dan mahasiswi di lingkungan pendidikan tinggi. Hal tersebut berkaitan dengan adanya kebijakan pembinaan khusus bagi mahasiswi bercadar di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka).
Ketua FRI Prof Dwia Aries Tina mengatakan, pendidikan tinggi memang memiliki otonomi yang tinggi dalam merancang kebijakan di luar Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Kendati demikian, menurut dia, sebelum membuat kebijakan, PT perlu betul-betul mempertimbangkan berbagai aspek.
"Kita harus menghargai hak asasi mahasiswa dan mahasiswi. Namun, tetap dalam rambu-rambu kewajaran, yang tidak mengganggu pelaksanan akademik di dalam kampus. Begitu pun cadar, selama tidak ada aksi radikalisasi, tidak masalah," kata Prof. Dwia kepada Republika.co.id, Jumat (9/3).
Terkait pakaian kuliah, lanjut Dwia, itu masuk pada ranah otonomi perguruan tinggi. Seperti halnya di pendidikan tinggi agama yang mewajibkan mengenakan hijab, pendidikan tinggi berikatan dinas yang mengenakan seragam, STIKES dengan seragamnya berwarna putih, dan lainnya.
Namun, menurut Dwia, jika memang di perguruan tinggi tersebut terbukti ada aksi radikalisasi, rektor wajib bertindak tegas. Prinsipnya, setiap rektor berkewajiban untuk membentuk kedisiplinan di kampus masing-masing.
"Kalau misalnya ada upaya-upaya radikalisasi, perlu ditindak. Rektor harus tegas," kata Dwia.
Pembinaan mahasiswa/i akan paham radikalisme tengah digencarkan di beberapa kampus. Terakhir, pembinaan tersebut dilaksanakan di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) yang ditandai dengan beredarnya surat pembinaan Nomor B-1301/Un. 26/R/AK.00.3/02/2018.
Dalam surat yang ditandatangi Rektor UIN Suka Yudian Wahyudi tersebut, diperintahkan agar ada pendataan dan pembinaan bagi mahasiswi yang bercadar. Saat ini sudah terhimpun 42 mahasiswi bercadar yang siap untuk dibina secara bertahap.