Jumat 09 Mar 2018 16:01 WIB

Si Teror, Si Army dan Si Cadar

Peristiwa yang telah berkembang menjadi polemik itu harus bisa dijadikan obat.

Pemuda Mengawal Pemilu di Angkringan Enaknan, Rabu (28/2).  Jagongan diisi Ketua KPU DIY Hamdan Kurniawan, Jurnalis Republika Wahyu Suryana dan Tim Narasi Mata Najwa Mac Arif Hamdanas.
Foto: Angkringan Enaknan
Pemuda Mengawal Pemilu di Angkringan Enaknan, Rabu (28/2). Jagongan diisi Ketua KPU DIY Hamdan Kurniawan, Jurnalis Republika Wahyu Suryana dan Tim Narasi Mata Najwa Mac Arif Hamdanas.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Wahyu Suryana

Belum genap tengah semester pertama 2018, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sudah mengalami sejumlah guncangan hebat. Mulai serangan ke Gereja Santa Lidwina, penangkapan sejumlah orang mengaku Muslim Cyber Army sampai isu pelarangan cadar praktis menjadi topik utama Tanah Air.

Tenang melewati Januari. Pada 11 Februari 2018, masyarakat DIY dikejutkan serangan yang menimpa Gereja Santa Lidwina. Peristiwa ini jadi rangkaian gerbong serangan terhadap tokoh agama yang terjadi di sejumlah titik di Indonesia.

Tanpa bermaksud menggores luka yang sudah kering, serangan itu memiliki perbedaan mencolok dari serangan di tempat-tempat ibadah yang terjadi sebelumnya. Pasalnya, kejadian itu bisa dibilang cukup cepat diidentifikasi sebagai serangan teror.

Uniknya, identifikasi cepat itu tidak dikeluarkan Polsek, Polres, Polda, maupun rumah-rumah sakit setempat. Identifikasi justru mengemuka dari media sosial, dan tokoh-tokoh nasional seperti Menkopolhukam.

photo
Gereja Santa Lidwina di Padukuhan Bedog, Desa Trihanggo, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, DIY. Gereja ini mengalami penyerangan usai menggelar misa pada Ahad (11/).

 

Bahkan, identitas pelaku terbilang sangat cepat diungkap kepada publik, dilengkapi daftar riwayat hidup atau curriculum vitae layaknya pelamar kerja. Ini turut membedakan serangan itu dengan serangan-serangan lain.

Terlebih, pelaku-pelaku serangan kepada tempat-tempat ibadah sebelumnya terbilang cepat diidentifikasi sebagai orang gila. Jangankan asal muasal, nama orang-orang gila itu pun tidak banyak diekspose ke publik.

Publik belum pula diberikan kejelasan motif pelaku teror yang bukan orang gila, dan seakan dibiarkan merangkai puzzle-puzzle hoaks di media sosial. Setelah beberapa hari menunggu pelaku pulih, Polri (pusat) malah sudah menggeret pelaku ke Jakarta.

Akibatnya, tumbuh kecurigaan dari satu kelompok ke kelompok lain, serta dari masyarakat kepada penguasa. Walau tokoh-tokoh lintas agama telah menampilkan suri teladan baik lewat kunjungan berbalas, tidak bisa dipungkiri kecurigaan itu terus mengambang.

Masih pada bulan yang sama, Indonesia dihebohkan penangkapan orang-orang penebar hoaks yang mengaku Muslim Cyber Army. DIY kedapatan getah saat Polisi mengungkapkan salah satu pelaku mengaku sebagai dosen di Universitas Islam Indonesia (UII).

Padahal, UII sendiri sudah menegaskan jika pelaku bukan dosen tetap, melainkan cuma pernah diperbantukan untuk mata kuliah umum. Belum jelas motif pelaku mengatakan itu, serta motif Polisi mengungkapkan pengakuan sepihak tanpa konfirmasi itu ke publik.

Sayangnya, publik seakan sudah termanifesto dengan anggapan kalau salah satu pelaku pernah atau merupakan pendidik di salah satu perguruan tinggi keagamaan Islam di DIY. Penilaian semacam itu malah lebih sadis lagi terjadi di media sosial.

Tentu UII tidak ambil pusing meningat itu bukan urusan mereka. Tapi, semua isu terlanjur berkembang tanpa pernah ada klarifikasi lanjutan, dan kevulgaran pengungkapan identitas itu seakan sudah menjadi rutinitas untuk dimaafkan.

Setelah itu, giliran dunia pendidikan DIY yang mengalami gempa kecil setelah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga mengungkapkan rencana pembinaan mahasiswi-mahasiswinya yang bercadar. Rencana itu cepat mengemuka ke seantero Indonesia.

Tentu, rencana itu melahirkan pro dan kontra di tegah-tengah jagad perguruan tinggi. Pasalnya, yang berkembang ke publik bukan pembinaan, melainkan pelarangan cadar bagi untuk dikenakan di perguruan tinggi.

photo
Mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta yang mengenakan cadar berada di kawasan kampus UIN Sunan Kalijaga, Sleman, Yogyakarta, Kamis (8/3).

Walau menuai polemik, UIN Sunan Kalijaga sendiri sudah menekankan yang dilakukan merupakan pembinaan bukan pelarangan. Tiga elemen penting dari pembinaan di antaranya agar cadar itu dibuka saat ujian, demi menghindari perjokian.

Ada pula tujuan supaya mahasiswi-mahasiswi bercadar bias membaur dan tidak eksklusiv atau teralienasi, serta agar mereka yang anti Pancasila bisa dibina agar menerima Pancasila. Sayangnya, polemik pelarangan cadar lebih hangat dibicarakan masyarakat.

Polemik cadar menjadi gerbong belakang yang menguji kedewasaan masyarakat, agar senantiasa menjaga jaring-jaring kesejukan yang menjadi ciri khas DIY. Menarik menunggu kejutan-kejutan apalagi yang disiapkan DIY memasuki pertengahan 2018.

Tentu, sejumlah peristiwa yang telah berkembang menjadi polemik itu harus bisa dijadikan obat, selayaknya jamu-jamu yang dibawa mbok-mbok di sekitaran Malioboro dan Beringharjo. Karenanya, kedewasan harus jadi lensa pertama yang mengolah kejadian demi kejadian yang mungkin akan terjadi kelak.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement