Rabu 07 Mar 2018 14:25 WIB

Cadar, Radikalisme, dan Anti-Pancasila

Cadar tidak melanggar norma keasusilaan masyarakat.

Rep: Kiki Sakinah, Farah Noersativa/ Red: Elba Damhuri
Santriwati bercadar dari Internasional Leader School (ILS) bersiap berlatih ekstrakurikuler olahraga berkuda di Gunung Kialir, Cibeurem, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Rabu (28/2).
Foto:

Pandangan itu umumnya dipengaruhi oleh pemberitaan media, di mana banyak tokoh radikal dan pelaku terorisme istrinya bercadar. Namun, Mu'ti mengatakan, pandangan itu tidak sepenuhnya benar. Banyak dari mereka yang bercadar adalah kelompok moderat yang berpikiran dan berpandangan maju.

Dalam konteks pembinaan mahasiswa, Mu'ti beranggapan, hal itu merupakan otoritas pimpinan masing-masing perguruan tinggi. Menurut dia, pembinaan terhadap mereka yang bercadar dikaitkan dengan pencegahan radikalisme tidaklah menjadi masalah.

Namun, menurut dia, kebijakan antiradikalisme harus berlaku untuk semua. Sebab, banyak pula kelompok radikal yang tidak bercadar dan tidak berjenggot panjang. "Tetapi, kalau pembinaan dimaksudkan agar mereka melepas cadar itu bisa jadi masalah," kata Mu'ti.

Karena itulah, Mu'ti mengatakan, mahasiswi yang bertahan memakai cadar karena keyakinan merupakan hak yang harus dihormati. Namun, karena kampus melarang memakai cadar, mereka juga harus mematuhi aturan. Dalam hal ini, dia menekankan konteks untuk tidak mematuhi aturan itu bukan karena radikal atau menyalahi ajaran Islam.

Pelarangan cadar bukan satu-satunya diberlakukan di UIN Suka Yogyakarta. Di beberapa UIN juga terdapat larangan bercadar.

Kebijakan itu, menurut dia, merupakan bagian dari pembinaan busana mahasiswa. Selain bercadar, beberapa kampus UIN juga melarang mahasiswa berbusana terlalu ketat.

Beberapa bahkan ada yang melarang mahasiswi memakai celana panjang dan jeans. Karena itu, ia mengatakan konteksnya adalah aturan berbusana bagi mahasiswa.

UIN Suka Yogyakarta berkomitmen untuk menjaga keutuhan NKRI. Demi mewujudkan hal itu, UIN Suka pun secara tegas akan mengeluarkan mahasiswi yang tetap cenderung berpaham transnasional, meski telah dibina sebanyak sembilan pertemuan.

Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) UIN Suka Yogyakarta sepakat dengan ketegasan yang akan dilakukan tersebut. Presiden Mahasiswa UIN Suka Yogyakarta Muhammad Romli mengatakan, jika perlu, mahasiswi yang terbukti anti-Pancasila juga dapat dipolisikan atas tuduhan makar.

"Jika sudah berkali-kali dibina dan tetap anti-Pancasila, harus ditindak tegas karena telah mengancam keutuhan NKRI," kata Romli.

Meskipun begitu, di satu sisi langkah yang dilakukan UIN Suka Yogyakarta saat ini masih cenderung setengah-setengah. Ia merasa keberatan mengapa objek binaannya hanya mahasiswi bercadar. Seharusnya, lanjut Romli, semua mahasiswi dan mahasiswa UIN juga perlu diidentifikasi dan dibina.

(eric iskandarsjah, Pengolah: muhammad iqbal).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement