Selasa 06 Mar 2018 19:06 WIB

Regulasi Pembatasan Ponsel pada Anak

Tanpa edukasi orang tua dan guru, kebijakan bisa menjadi sia-sia.

Yudha Manggala P Putra
Foto: Republika/Daan
Yudha Manggala P Putra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudha Manggala P Putra*

Rencana pemerintah mengatur pembatasan telepon seluler (ponsel) pada anak dipastikan terus bergulir. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yambise, kembali menegaskannnya saat menghadiri Rakornas PPPA di Bangka Tengah, Kamis (1/3) lalu.

Menurut Yohana, dalam waktu dekat Menteri PPPA, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta Menteri Komunikasi dan Informatika akan menyiapkan Surat Keputusan Bersama (SKB) sebagai payung hukum. Regulasi ini, mengutip pernyataan Yohana, nantinya diterapkan di seluruh sekolah di Tanah Air mulai dari sekolah dasar (SD), hingga menengah atas (SMA dan setingkatnya).

Penyesuaian akan dilakukan terhadap masing-masing tingkatan. Misalnya, ia mencontohkan, untuk anak SD tidak boleh membawa ponsel sama sekali ke sekolah, sedangkan siswa SMP dan SMA boleh, dengan kebijakan tertentu.

Rencana trio kementerian ini memang sudah lama dilontarkan. Yohana setidaknya sudah menyinggung ide kebijakan ini sejak 2016 silam. Meski peraturan melarang siswa membawa ponsel sebenarnya sudah diberlakukan secara mandiri oleh beberapa sekolah, SKB ini nantinya bisa mewajibkan seluruh sekolah menerapkannya. 

 

Kebijakan ini pada dasarnya berangkat dari tujuan positif, yakni melindungi anak dari dampak negatif ponsel/gawai/internet. Organisasi bidang Perlindungan Anak, Indonesia Child Protection Watch (ICPW) salah satu yang mengapreasiasi rencana ini.

Menurut Ketua Organisasi bidang Perlindungan Anak ICPW, Erlinda, selain kecanduan dan gangguan kesehatan, regulasi ini dapat mencegah potensi kejahatan terhadap anak. "Yang paling mengkhawatirkan ketika anak masih sekolah dasar tetapi sudah dilepas dan diberikan gawai tanpa pengawasan yang baik orang tuanya maka khawatir terjadi kasus pedofilia," ujar Erlinda kepada Republika.co.id, Ahad (4/3).

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga termasuk yang memandang positif. Meski dengan catatan, regulasi tersebut juga harus dapat mengedukasi para orang tua terkait baik dan buruknya gawai. "Kalau cuma anak yang dibatasi sementara orang tua tidak dibatasi, saya rasa kebijakan ini tidak akan efektif," ungkap Komisioner KPAI Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra kepada Republika.co.id, Sabtu (3/3).

Bukan hal baru

Regulasi untuk membatasi penggunaan gawai pada anak-anak sebenarnya bukan hal baru. Korea Selatan, misalnya, sejak 2015 menjalankan peraturan yang mewajibkan setiap smartphone anyar yang digunakan remaja usia 18 tahun ke bawah dipasangi aplikasi pemonitor bernama Smart Sherrif, atau aplikasi sejenis lain.

Aplikasi yang dimaksud memiliki fungsi mengontrol akses ke situs dewasa atau berbahaya, termasuk memblokir akses ke situs perjudian. Alasan Pemerintah Korsel menerapkan kebijakan itu sederhana namun penting: banyak hal buruk di dunia maya dan generasi muda harus dilindungi.

Menurut studi, rata-rata delapan dari 10 anak di bawah 18 tahun di Korsel memiliki smarpthone dan 72 persen dari anak SD di sana sudah punya ponsel cerdas.

Selain Korsel, negara lain yang juga sudah menerapkan kebijakan pembatasan gawai adalah Taiwan. Bedanya, pemerintah negara ini sedikit lebih tegas. Mereka melarang anak di bawah dua tahun mengakses perangkat elektronik. Tidak hanya tablet/iPad dan smartphone, bahkan juga televisi.

Peraturan yang ditambahkan dalam regulasi Child and Youth Welfare and Protection Act pada 2015 ini juga melarang orang tua mengizinkan anak berusia 18 tahun ke bawah untuk mengakses gawai terlalu lama sehingga berdampak pada kesehatan mental pada fisiknya. Tidak diperinci rentang waktu yang dikategorikan 'terlalu lama' itu, namun jika melanggar, sanksinya berupa denda maksimal Rp 22 juta.

Kebijakan dua negara itu masih memicu pertentangan. Sebagian menganggap pemerintah terlalu jauh menerapkan larangan yang seharusnya menjadi peran dan tanggung jawab orangtua. Sebagian lain menganggap peraturan terlalu otoriter dan melanggar hak privasi. "(kebijakan) Itu sama saja memasang kamera pengawas pada ponsel remaja," ungkap Kim Kha Yeun, pengacara yang menentang kebijakan Korsel terkait gawai ketika diwawancara BBC.

Dua sisi mata uang

Gawai ibarat dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan. Di satu sisi perangkat ini dapat memberikan manfaat dan diperlukan, namun sisi lain juga melahirkan banyak potensi membahayakan.

Anggota Komisi X DPR, Ledia Hanifah Amaliah menyadari itu. Karenanya ia menilai rencana pemerintah membatasi penggunaan gawai untuk anak-anak dan remaja sebagai kebijakan yang harus dilakukan secara ekstra.

Menurutnya tak bisa dimungkiri, penggunaan teknologi juga diperlukan untuk pembelajaran. Karena itu, peraturan tersebut perlu mengatur pembatasan antara penggunaan untuk belajar dan penyalahgunaannya.

Aturan juga harus mencakup umur berapa anak sudah mulai bisa dibekali gawai serta bagaimana menggunakannya. "Artinya, pengaturannya harus sangat cermat karena kebutuhan tiap anak akan berbeda dengan tugas sekolahnya dan sebagainya," ucap politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut kepada Republika.co.id.

Ia pun menekankan efektivitas peraturan ini ikut tergantung pada peran orang tua dan sejumlah pihak terkait. Mereka perlu diedukasi agar kebijakan tidak menjadi sia-sia. 

"Kalau orang tua enggak diedukasi, akhirnya jadi sia-sia. Ada banyak peraturan melindungi anak, tapi kita kemudian tidak bisa efektif karena tidak ada edukasi orang tua, guru, dan juga lingkungan sekitarnya," kata Ledia.

Sementara itu, Ketua Komisi Nasional Anak Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait memandang literasi digital dan pengendalian memang bisa menjadi cara tepat menangkal dampak buruk gawai. Namun, tambah dia, jangan sampai hak anak untuk mendapatkan akses informasi digital terenggut. 

"Kita hidup di era teknologi. Kita tidak bisa suka atau tidak suka pada perkembangan ini, jadi anak juga tidak bisa dilarang main gawai. Yang ada dikendalikan," kata Arist, Jumat (2/3).

Menurutnya ada beberapa cara untuk menerjemahkan bentuk-bentuk pengendalian itu. Di antaranya memberikan pemahaman manajemen waktu, manajemen konten, dan melatih anak untuk selalu proaktif bertanya dan mengadu jika ada sesuatu hal yang tidak memiliki kadar kepantasan.

"Kalau waktu belajar, misal, anak tentu tidak boleh menggunakan gawai. Kalau di sekolah, bisa sambil dibimbing atau diarahkan untuk menggunakan sarana pembelajaran lain jika butuh akses informasi," kata Arist.

 

*)Penulis adalah jurnalis Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement