Jumat 02 Mar 2018 01:00 WIB

Risiko Menghantar (pada) Perubahan

Sejarah peradaban dipenuhi mereka yang hadir memilih risiko sebagai jalan hidupnya.

Ady Amar
Foto: dok. Pribadi
Ady Amar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ady Amar *)

Risiko yang telah diperhitungkan, tentu tidaklah sama dengan gegabah. Risiko yang diperhitungkan itu adalah bentuk kecermatan yang tidak mustahil akan mengukir prestasi besar, dan dikenang dalam waktu yang panjang.

Ada pula yang berpendapat bahwa risiko itu milik orang “hidup” yang sebenarnya, memilih pilihan-pilihan sulit, yang terkadang tidak mustahil melawan arus besar, itulah keberanian di luar batas umum.

Pengambil risiko selalu memompakan dalam dirinya semangat untuk memilih pilihan-pilihan sulit yang tidak diambil oleh orang lain, seolah dirinya “diutus” untuk memilih pilihan-pilihan yang tidak biasa, pilihan-pilihan berani penuh risiko.

Pengambil jalan risiko tidak berpikir ingin disebut sebagai pemberani, atau ingin dikenang sebagai mesias perubahan zaman. Pemilih jalan risiko cuma berpikir sederhana, bahwa ada hal yang salah dan dia harus hadir memenuhi panggilan untuk meluruskannya. Berpikirnya tampak praktis, dan dengan kecermatan yang matang. Tidak grusa-grusu, sembrono, dan bondo nekat.

Para pemilih jalan risiko adalah pribadi pilihan dengan dorongan hidup yang tidak berpikir untuk diri sendiri. Tanpa disadarinya, ia memilih mewakafkan diri untuk sebuah perubahan, yang sebenarnya ia sendiri tidak mengetahui berhasil atau tidaknya. Ada hal yang harus diambil, berhasil atau tidak, itu urusan lain. Karenanya, ia disebut risiko.

Sejarah telah banyak “dilingkupi” pelaku sejarah, yang berangkat dari pilihan mengambil jalan risiko. Sejarah orang-orang besar adalah sejarah yang berkelindan dengan risiko sebagai pilihan hidup, mendobrak tradisi apa pun bentuk dan coraknya. Kita disuguhi mereka yang memilih jalan risiko itu sebagai panggilan jiwa.

Sejarah peradaban dipenuhi dengan mereka yang hadir memilih risiko sebagai jalan hidupnya. Risiko itu ilmunya tak diajarkan di sekolah-sekolah formal, tetapi ia hadir di mana saja, tidak bisa disamai dengan “ilmu” orang kebanyakan. Bukan sekadar berani, tapi lebih dari itu, memilih jalan yang tidak biasa untuk sebuah perubahan.

***

Kalangan tertentu menyatakan, bahwa hidup itu pun melawan risiko. Itu benar, tidak salah, tapi tidak dalam konteks pembicaraan risiko dalam sebuah perubahan. Perubahan apa pun bentuknya dimulai dari inisiatif untuk sebuah perubahan, dan itu dimiliki mereka yang memilih mengambil jalan risiko.

Mahal harganya, tidak mustahil menjadi martir, meski tak diinginkannya, tapi itulah harga dari jalan risiko yang telah dipilihnya. Risiko yang diambilnya itu merupakan pergumulan di jiwa, karena hidup di sekitar tak sesuai dengan nalar kebanyakan. Di situlah dia akan temukan risiko perjuangan.

Pengambil jalan risiko itu semacam orang buta yang berjalan di kegelapan malam, dengan satu tangan kanan memegang tongkat dan tangan kiri membawa lentera. Bagaimana mungkin lentera yang dibawanya itu bisa berguna, padahal dia sendiri tak memerlukan penerangan karena kebutaannya. Namun demikian, dia memberikan pada sekitarnya untuk hidup dalam terang dibanding dirinya. Pilihan tanpa pamrih, semacam ikhlas dalam konsep Islam.

Peristiwa-peristiwa besar yang ada dimulai dari munculnya “aktor” pengambil jalan risiko, yang memilih hidup di zona bahaya. Dalam konteks keindonesiaan, maka anak-anak muda di zaman pra kemerdekaan, yang dimotori Chaerul Saleh dan kawan-kawan saat menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok, “menekannya” untuk memastikan pernyataan proklamasi agar dibacakannya menandai kemerdekaan negeri. Anak muda bernama Arif Rahman Hakim yang gugur sebagai martir dalam Aksi Tritura 1966 dalam menumbangkan rezim Orde Lama, dia karenanya harus tertembus peluru menuju kematiannya …

Hariman Siregar, Ketua Dema UI, menggerakkan Aksi Demo Besar yang melumpuhkan Jakarta kala itu, terkenal dengan Aksi Malari (15 Januari 1974). Masih banyak lagi ksi lainnya yang dipelopori generasi muda dan mahasiswa, sampai Zaadit Taqwa, Ketua BEM UI, Si Pemberi “Kartu Kuning” pada Presiden Jokowi, saat Dies Natalis ke-68 UI baru-baru ini, itu pun bagian dari pilihan-pilihan risiko yang diambilnya.

Pengukir sebuah perubahan tidak mesti diikutkan dalam mengelola dan menjaga perubahan itu. Dia seakan dilupakan, seolah apa yang dilakukannya pada masa lalu adalah kewajiban sejarah yang tidak perlu diingat dengan baik. Itulah yang sering terjadi, sejarah tidak dihadirkan apa adanya dan secara manusiawi. Karenanya, tidak banyak generasi muda saat ini yang mengenal mereka dengan baik.

Namun demikian, para pemilih jalan risiko akan terus hadir memenuhi panggilan tugas sejarahnya, kewajiban sejarah, dan itu sunnatullah.

*Pemerhati Masalah Sosial

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement