REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Salahuddin Uno mengatakan, masyarakat tak seharusnya menganggap gangguan jiwa sebagai stigma. Ia menganggap gangguan jiwa adalah fenomena biasa.
"Ini fenomena biasa. Di Jepang banyak. Malah di Jepang saking rampant-nya ada taman untuk bunuh diri," kata Sandiaga di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (28/2).
Sandiaga mengatakan baru-baru ini Program Ketuk Pintu Layani dengan Hati (KPLDH) mengidentifikasi 4.000 warga DKI yang terkena gangguan jiwa. Jika diperluas, data ini mencapai 10 ribu hingga 11 ribu warga.
Data Dinas Kesehatan DKI Jakarta tahun 2017 menunjukkan jumlah orang dengan gangguan jiwa yang teridentifikasi melalui program KPLDH mencapai sekitar 4.600 orang. Total jumlah orang dengan gangguan jiwa mencapai 14 ribu orang dengan prevalensi 1,1 per mil.
Menurut Sandiaga, gangguan jiwa dapat disebabkan oleh banyak hal. Kasus-kasus di DKI umumnya disebabkan masalah sosial ekonomi dan keputusasaan. Ada pula faktor keturunan dan beberapa faktor lain. "Stress, ada yang (karena) percintaan, ada yang depresi, ada yang skizofrenik. Kalau yang skizofrenik ini harus dirawat," kata dia.
Ia tak ingin kasus bunuh diri yang banyak terjadi di Jepang juga menimpa warga Jakarta. Oleh karena itu, ia mengajak anggota masyarakat untuk melakukan pencegahan.
Bagi Sandiaga, saat ini adalah momen yang tepat untuk meningkatkan kepedulian terhadap kesehatan jiwa. Pemerintah DKI telah menunjukkan keberpihakan terhadap orang dengan gangguan jiwa. Selain itu, Indonesia telah memiliki Undang-undang RI Nomor 18 tahun 2014 yang secara khusus mengatur tentang kesehatan jiwa.
"Sekarang mau ke arah promotif preventif. Ini kesempatan kita untuk melahirkan sebuah terobosan untuk mendeteksi gangguan jiwa," kata dia.