REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Sejak akhir pekan lalu, lebih dari 500 warga sipil terbunuh dalam pengeboman yang dilakukan rezim Suriah terhadap wilayah Ghouta Timur. Ratusan orang terluka parah dan membutuhkan bantuan medis mendesak.
Menurut Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR), jumlah korban tewas dalam serangan yang disebut pembunuhan oleh rezim selama tujuh hari itu meningkat menjadi 520 jiwa pada Sabtu (24/2) waktu setempat. Sedangkan, warga sipil yang terluka mencapai lebih dari 2.500 orang di daerah kantong oposisi yang terkepung tersebut.
Data tersebut juga mengungkapkan, di antara korban tewas terdapat 127 anak-anak dan 75 perempuan, sementara pasokan makanan, air, dan obat-obatan kian menipis akibat pengepungan rezim terhadap Ghouta Timur.
Dilaporkan Al Arabiya, Ahad (25/2), banyak penduduk Ghouta Timur tinggal di bawah tanah selama sepekan terakhir untuk menghindari pengeboman terus-menerus. Namun, mereka mendapatkan masalah lain karena kehabisan bahan makanan dan air.
Selain itu, 10 fasilitas medis hancur selama tujuh hari serangan itu. Jalanan sering kali terlalu tidak aman atau tidak memungkinkan ambulans melintas untuk membawa orang-orang yang terluka ke rumah sakit.
Dokter Lintas Batas (MSF) mengatakan, sebanyak 13 pusat kesehatan yang terkena bom telah membuat situasi menjadi sangat menyedihkan bagi dokter dan perawat. Staf medis di Ghouta Timur telah bekerja tanpa lelah untuk menyelamatkan orang yang sekarat. Namun, pengeboman tanpa henti dikhawatirkan membuat dokter dan perawat tumbang karena kelelahan.
"Jumlah korban tewas di daerah kantong Ghouta di Suriah yang terkepung melonjak melampaui imajinasi karena kapasitas untuk menyediakan layanan kesehatan sedang dalam pergolakan terakhir," kata MSF dalam pernyataan kemarin.
Perang sipil di Suriah bermula seiring Musim Semi Arab pada 2011. Gerakan pendongkelan berbagai pemerintahan di Timur Tengah saat itu memicu warga Suriah menuntut hal serupa terkait rezim Bashar al-Assad yang telah ber kuasa sejak 1988.
Militer pemerintah menekan perlawanan itu dan memunculkan kelompok- kelompok militan pemberontak. Konflik kian parah karena melibatkan sentimen sekta rian antara mayoritas warga Suriah yang bermazhab Sunni dan minoritas Syiah yang dekat dengan kekuasaan.
Pemboman wilayah di Suriah Ghouta yang dikuasai gerilyawan terus berlanjut .
Campur tangan Iran-Rusia yang mendukung rezim Assad serta Amerika Serikat dan negara-negara Arab yang mendukung pemberontak kian memperdalam perang sipil. Belum lagi kelompok-kelompok militan asing dari kedua sisi yang memasuki Suriah.
Situasi di Ghouta Timur telah berkobar selama dua bulan belakangan ketika gerilyawan melancarkan serangan besar terhadap militer Suriah di Kota Harasta di Ghouta Timur. Empat kelompok utama gerilyawan berada di Ghouta Timur, yakni Tentara Islam, Failaq ar-Rahman, Ahra ash-Sham, dan Komite Pembebasan Levant (LLC) yang juga dikenal dengan nama Front an-Nusra yang memiliki hubungan dengan Alqaidah.
Militer Suriah, milisi pendukung rezim, dan pesawat-pesawat tempur Rusia kemudian membombardir daerah itu tanpa ampun. Rumah sakit-rumah sakit dilaporkan turut menjadi sasaran.
Dewan Keamanan PBB sedianya telah menyetujui proposal gencatan senjata selama 30 hari pada Sabtu (24/2). Kendati demikian, aksi penyerangan belum berhenti.
Pemerintah Suriah dan Rusia mengatakan, mereka hanya menargetkan militan dan menuduh pemberontak menggunakan manusia sebagai perisai. "Kami memerangi terorisme di wilayah kami. Pemerintah kami memiliki hak untuk merespons jika kelompok- kelompok teroris menargetkan warga sipil di bagian mana pun di Suriah dengan satu rudal tunggal," kata Duta Besar Suriah untuk PBB Bashar Ja'afari, kemarin.
Sedangkan, Panglima Militer Iran Mohammaed Baqri menyatakan, Suriah akan menghormati gencatan senjata tetapi tak akan mengendurkan serangan terhadap kelompok yang mereka sebut sebagai para teroris. Resolusi AS soal gencatan senjata tak meliputi Ghouta Timur. Operasi pembersihan akan dilanjutkan, tulis Baqri melalui akun Twitter-nya, kemarin.
Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB Nikki Haley juga mengklaim Rusia mengulur-ulur proses negosiasi untuk membiarkan pengeboman terus berlanjut. "Setiap menit dewan menunggu Rusia, penderitaan manusia bertambah," kata Haley di hadapan anggota DK PBB.