Jumat 23 Feb 2018 00:42 WIB

Saksi Ahli Sebut HTI Berdakwah Secara Umum

Menyeru khilafah juga merupakan bagian dari dakwah dan ajaran Islam.

Didin Hafidhuddin
Foto: ROL
Didin Hafidhuddin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saksi ahli yang dihadirkan pihak eks Hizbut Tahrir Indonesia, dalam sidang lanjutan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Kamis (22/2), yakni Prof KH Didin Hafidhuddin MA mengatakan, HTI berdakwah secara umum. Dalam melakukan aktivitasnya, HTI menyampaikan ajaran-ajaran Islam dalam berbagai aspeknya.

"Sejauh yang saya ketahui, dalam melakukan aktivitasnya, HTI menyampaikan ajaran-ajaran Islam dalam berbagai aspeknya. Aktivitas-aktivitasnya tidak keluar dari makna dakwah secara umum," kata Didin saat menjadi saksi ahli yang dihadirkan pihak eks HTI di PTUN, Jakarta.

Didin yang juga merupakan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia itu menyampaikan, secara umum dakwah adalah kegiatan mulia dan sangat penting bagi tegaknya ajaran Islam. Dia memandang, wujud kegiatan dakwah HTI bersifat umum antara lain dakwah tulisan melalui website dan buletin, dakwah lisan melalui ceramah, lalu dakwah perbuatan dengan membantu langsung korban bencana, misalnya saat tsunami Aceh 2004 dan gempa di Yogyakarta 2006.

Didin menyatakan, khilafah juga merupakan bagian dari ajaran Islam, di mana menyerukan khilafah adalah kegiatan dakwah. Oleh karena itu Didin menyimpulkan bahwa aktivitas HTI adalah aktivitas dakwah Islam, dengan demikian HTI adalah organisasi dakwah Islam.

Terpisah juru bicara eks HTI Ismail Yusanto menilai bahwa dalam pemaparannya di persidangan, saksi KH Didin menunjukkan bahwa pembubaran HTI adalah hal yang keliru. Sebab, HTI adalah kelompok atau organisasi dakwah.

"Beliau menyatakan HTI kelompok dakwah, menyebarkan agama Islam, da menyerukan khilafah adalah bagian dari kegiatan dakwah," kata Ismail seusai persidangan. Ismail menekankan, pembubaran HTI selaku organisasi dakwah akan menghambat dakwah itu sendiri dan akan dilaknat oleh Allah.

Sementara itu kuasa hukum Menteri Hukum dan HAM I Wayan Sudirta menegaskan makna khilafah yang dipercaya oleh HTI tidak dapat disandingkan dengan NKRI. Sebab dalam makna khilafah yang diyakini HTI, tidak ada pemimpin seorang wanita, sehingga menjadikan tatanan kehidupan menjadi diskriminatif.

"Khilafah yang disampaikan ahli tidak sama dengan khilafah dalam Rancangan Undang-Undang Dasar Daulah Islam yang menjadi referensi HTI," kata I Wayan seusai pesidangan.

I Wayan menekankan bahwa HTI menyandingkan makna khilafah sesuai dengan konsep yang ada dalam buku-buku karangan Taqiyuddin an Nabhani, yang menjadi referensi bagi HTI. "Menurut HTI khilafah adalah kewajiban, sedangkan makna khilafah menurut ahli adalah sesuatu yang dapat didiskusikan dan menerima pluralisme," jelas I Wayan.

Adapun dalam persidangan tersebut pihak Kemenkumham selaku tergugat batal menghadirkan saksi. Rencananya saksi tergugat baru akan dihadirkan dalam sidang lanjutan Kamis (29/2) pekan depan.

HTI dibubarkan sesuai dengan surat keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU -30.AHA.01.08.2017 tentang pencabutan keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-00282.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian perkumpulan HTI. Dalam persidangan ini HTI menggugat keputusan Kemenkumham tersebut.

Sidang dipimpin oleh Hakim Ketua Tri Cahya Indra Permana SH MHHA, Hakim Anggota Nelvy Christin SH MHHA, dan Roni Erry Saputro SH MH, serta Panitera Pengganti Kiswono SHMH.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement