REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan, mengatakan akan ada sanksi yang diberikan kepada stasiun televisi yang masih menayangkan iklan kampanye parpol. Larangan berkampanye selama tujuh bulan masa jeda kampanye Pemilu 2019 banyak diprotes oleh parpol.
Menurut Wahyu, setelah ada kesepakatan bersama antara KPU, Bawaslu, KPI dan Dewan Pers pada Rabu (20/2), maka sudah resmi terdapat aturan yang menyatakan larangan iklan kampanye parpol di media massa. Aturan tersebut ditegaskan dalam surat resmi KPU yang akan diberikan kepada 14 parpol peserta Pemilu 2019 dan media massa.
"Dengan adanya aturan ini, parpol sudah menyampaikan keberatannya kepada KPU, juga kepada tiga lembaga lain. Keberatan ini disampaikan lewat telfon atau pesan kepada KPU, Bawaslu, Dewan Pers dan KPI," ungkap Wahyu ketika dijumpai wartawan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (21/2).
Selain dari parpol, keberatan juga disampaikan oleh stasiun televisi yang menayangkan iklan kampanye parpol. Wahyu menuturkan, parpol minta dibebaskan untuk melakukan iklan di media massa dan juga meminta tidak ada batasan sosialisasi untuk pemilu.
"Tetapi kan aturannya sudah tegas bahwa iklan kampanye parpol tidak boleh dilakukan. Ini berlaku sejak 20 Februari. Jika masih stasiun televisi yang menayangkan iklan kampanye parpol, maka KPI akan memberikan sanksi," tegas Wahyu.
Dia menambahkan, dalam pertemuan empat lembaga pada Selasa, telah dibahas adanya temuan iklan kampanye parpol di sejumlah televisi nasional. Tayangan iklan itu tercatat ditayangkan setelah pengundian nomor urut parpol pada 18 Februari dan sebelum ada kesepakatan empat lembaga.
Namun, karena temuan terjadi sebelum ada kesepakatan, maka menurut Wahyu, hal itu belum bisa ditindak dengan aturan berdasarkan kesepakatan empat lembaga. Hanya saja, kata Wahyu, jika temuan iklan kampanye parpol masih terjadi setelah 20 Februari, pemberlakuan sanksi oleh KPI akan segera dilakukan.
Ditemui secara terpisah, Komisioner KPI Bidang Pengawasan Isi Siaran, Nuning Rodiah, mengatakan pihaknya telah menemukan iklan kampanye dari dua parpol peserta Pemilu 2019 yang ditayangkan di stasiun televisi nasional. Penayangan iklan kampanye itu dilakukan usai parpol mendapatkan nomor urut peserta pemilu.
"Pada 20 Februari kemarin, ada salah satu stasiun televisi yang menayangkan iklan kampanye sampai 20 spot iklan," ujar Nuning kepada wartawan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu pagi.
Bahkan, lanjut dia, temuan itu telah terpantau sejak 18 Februari. Penayangan iklan tidak hanya ada di satu stasiun televisi, melainkan delapan stasiun televisi nasional.
"Penayangan iklan memakai slot iklan, dan tidak masuk dalam program tayangan televisi. Temuan juga ada di stasiun-stasiun televisi yang disinyalir tidak ada afiliasi dengan parpol tertentu (bukan milik ketua parpol yang juga memiliki jaringan media)," ungkapnya.
Nuning menjelaskan, dari sekian banyak temuan itu, ada dua parpol yang melakukan iklan. Keduanya yakni satu parpol lama dan satu parpol baru. Meski demikian, pihaknya masih enggan menyebutkan secara tegas dua parpol yang dimaksud.
Pihak KPI, KPU, Bawaslu dan Dewan Pers telah membahas temuan-temuan ini pada Selasa. Berdasarkan hasil pembahasan empat pihak, diputuskan bahwa temuan itu tidak boleh dan penayangan iklan harus diterbitkan.
"Akan segera kami tertibkan. Kami memberi toleransi hingga Kamis (22/2) besok. Jika sampai besok pagi masih ada, maka kami akan memberikan penjatuhan sanksi sebagaimana mekanisme yang sudah ada, " tegas Nuning.
Masa toleransi ini, tutur dia, mempertimbangkan bahwa stasiun televisi masih melakukan penyelesaian administrasi untuk memutuskan kontrak iklan (iklan parpol) yang sudah ada. Nuning menjelaskan jika bentuk iklan kampanye parpol yang dilarang meliputi suara, tulisan (termasuk running text), sandiwara dan sebagainya.
Dalam rangka memonitor lembaga penyiaran selama tujuh bulan jeda kampanye, KPI mengawasi 15 stasiun televisi nasional, lembaga penyiaran berbayar dan radio jaringan nasional.
Sementara itu, terkait mekanisme sanksi, Nuning menyebut KPI menggunakan mekanisme berjenjang. "Yang pertama peringatan, lalu teguran tertulis satu, kemudian teguran tertulis dua, berikutnya penghentian program sementara , kemudian berikutnya pengurangan durasi, akan masuk ekskalasi yang paling tinggi yakni kami merekomendasikan untuk mencabut izin siaran," tegas Nuning.