Selasa 20 Feb 2018 15:55 WIB

Presiden Kemungkinan tidak akan Tanda Tangani UU MD3

Menurut Menkumham, Presiden Jokowi cukup kaget dengan polemik revisi UU MD3.

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas (kiri) menyerahkan berkas pembahasan revisi UU MD3 kepada Wakil Ketua DPR Fadli Zon pada Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (12/2).
Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas (kiri) menyerahkan berkas pembahasan revisi UU MD3 kepada Wakil Ketua DPR Fadli Zon pada Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (12/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak akan menandatangani revisi Undang-Undang No 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang sudah disepakati rapat paripurna DPR pada 12 Februari 2018 lalu. Seperti diketahui, ada beberapa pasal dalam UU MD3 yang dinilai kontroversial.

"Jadi Presiden cukup kaget juga, makanya saya jelaskan, masih menganalisis, dari apa yang disampaikan belum menandatangani dan kemungkinan tidak akan mendandatangani (UU MD3)," kata Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly di lingkungan istana kepresidenan Jakarta, Selasa (20/2).

Dalam rapat paripurna DPR pada Senin (12/2), disepakati perubahan kedua UU MD3 dengan beberapa perubahan. Yaitu, penambahan jumlah pimpinan yaitu tiga di MPR, satu di DPR, dan satu di DPD, kedua mekanisme pemanggilan paksa terhadap pejabat negara atau masyarakat dengan melibatkan aparat kepolisian.

Namun, meski Presiden tidak menandatangani UU MD3 tersebut, UU tersebut tetap sah. Mengingat, aturan bahwa RUU yang tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU disetujui maka RUU tersebut sah menjadi UU.

"UU tanpa ditandatangani kan sah sendiri tapi apa pun itu terserah bapak presiden, saya tidak mau ada pikiran bapak presiden seperti itu," ungkap Yasonna.

Terdapat beberapa pasal UU MD3 yang menjadi sorotan publik yaitu Pasal 245 dinyatakan, pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Selanjutnya Pasal 122, DPR memberikan kewenangan kepada MKD untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang, kelompok, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Dan Pasal 73, DPR memiliki kewenangan memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat secara paksa dengan ancaman sandera.

"Tapi sudah saya jelaskan latar belakangnya, ini dialognya panjang. Kalau saya tidak menerima ini, mungkin tidak akan ada pengesahan MD3 pada waktu itu jadi dinamika politiknya cepat. Saya katakan oke sebatas contempt of parliament dalam mengerjakan tugasnya," ungkap Yasonna.

sumber : Antara

Dapat mengunjungi Baitullah merupakan sebuah kebahagiaan bagi setiap Umat Muslim. Dalam satu tahun terakhir, berapa kali Sobat Republika melaksanakan Umroh?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement