Senin 19 Feb 2018 05:09 WIB

Misteri Kecantikan Wanita Saudi Segera Tersingkap

Dalam waktu tidak terlalu lama misteri kecantikan para perempuan Saudi akan terkuak.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Bagaimanakah paras kaum wanita Arab Saudi? Bagi banyak orang boleh jadi masih misteri. Selama ini, kita hanya melihat kecantikan perempuan Saudi lewat Putri Ameera al-Tawil, (mantan) istri Pangeran al-Walid bin Talal. Al-Walid, keponakan Raja Salman bin Abdulaziz, merupakan salah satu orang terkaya di dunia. Ia pengendali perusahaan investasi Kingdom Holding.

Dilihat di Youtube, Putri Ameera tampak aktif mendampingi Pangeran al-Walid dalam berbagai aktivitasnya di luar negeri. Termasuk ketika menghadiri perkawinan Pangeran William dengan Kate Middleton pada 2011. Wajah cantik khas Arabnya sangat menonjol: berhidung mancung, mata hitam, rambut panjang ikal berkilau, dan tubuh semampai. Pantas kalau kemudian penampilan Sang Putri selalu mendapat perhatian.

Selain Putri Ameera, kita sangat jarang bisa melihat paras wanita Saudi. Termasuk para istri dan anak-anak perempuan keluarga Kerajaan. Mereka tidak pernah tampil di depan umum. Ketika umrah atau haji pun, kita hanya melihat perempuan-perempuan Saudi dalam sosok yang serba hitam pada abaya longgar pembungkus badan dan cadar penutup wajah. Pakaian perempuan seperti ini merupakan aturan hukum yang dilaksanakan secara ketat di negara kaya minyak itu.

Namun, itu dulu. Dalam waktu yang tidak terlalu lama misteri kecantikan para perempuan Saudi mungkin segera tersingkap. Minimal kita akan bisa melihat wajah dan tubuh mereka. Para perempuan Saudi itu mungkin tidak diharuskan lagi mengenakan abaya dan cadar di depan umum.

Seorang ulama senior negara itu, Syekh Adullah al-Mutlaq, menyatakan, perempuan Saudi harus berpakaian sopan. Namun, kata dia, bukan berarti mereka harus mengenakan abaya dan cadar. "Lebih dari 90 persen perempuan saleh di dunia Islam tidak mengenakan abaya. Jadi, kita seharusnya tidak memaksa orang memakai abaya," ujar Sang Syekh, Jumat dua pekan lalu, sebagaimana dikutip BBC Arab.

Syekh al-Mutlaq bukanlah ulama sembarangan. Ia anggota Haiatu Kibar al-Ulama, sebuah lembaga otoritas keagamaan tertinggi di Saudi. Pernyataan soal pakaian perempuan tadi yang pertama dari seorang ulama sekaliber al-Mutlaq, yang bisa menjadi dasar hukum di negara itu di masa depan.

Sejauh ini belum ada respons dari penguasa Saudi. Media massa di negara itu juga adem ayem saja. Di media sosial memang ada kontroversi, namun lebih banyak yang pro terhadap pernyataan Syekh al-Mutlaq.

Biasanya, bila ada ulama setempat menyampaikan kritik atau fatwa terbuka yang berbeda dengan kebijakan penguasa Saudi, nasibnya sudah bisa dipastikan; dipenjara atau dikucilkan. Seperti halnya yang pernah terjadi pada mereka yang mengritik kebijakan Saudi mengenai Yaman dan pengucilan terhadap Qatar.

Karena itu, pernyataan Syekh al-Mutlaq bisa dibaca sebagai semacam sosialisasi awal dari sebuah kebijakan yang mungkin akan dirilis Sang Raja. Sama halnya ketika penguasa Saudi pada akhirnya mengeluarkan dekrit yang memperbolehkan perempuan mengemudi mobil.

Pernyataan Syekh al-Mutlak juga bisa diartikan sebagai kelanjutan dari reformasi menyeluruh yang dicanangkan penguasa Kerajaan. Reformasi yang sudah dimulai sejak Raja Abdullah bin Abdul Aziz dan kemudian dipertajam oleh Raja Salman ketika merilis Visi Saudi 2030 pada April 2016.

Visi Saudi 2030, menurut arsiteknya, Putra Mahkota Pangeran Muhammad bin Salman, merupakan peta jalan menuju Saudi modern yang lebih sejahtera. Untuk mencapainya harus ada perubahan di semua lini. Di bidang ekonomi, misalnya, Saudi akan mendiversifikasi pendapatan negara. Selama ini hampir 80 persen pendapatan Saudi dari minyak.

Lalu apa hubungan Visi 2030 dengan abaya dan cadar? Dalam Visi 2030 disebutkan, kaum perempuan Saudi harus produktif. Karena itu, mereka mesti menjadi mitra sejajar dengan kaum laki-laki untuk bisa ikut serta secara aktif membangun negara.

Namun, ada persoalan serius yang dianggap bisa menghambat kemajuan kaum perempuan. Persoalan itu terkait erat dengan sikap dan pandangan ulama setempat (Wahabi). Yakni, adanya berbagai aturan--bersumber pada fatwa ulama--yang selama ini dianggap membelenggu hak-hak dan kebebasan perempuan. Berbagai aturan itu telah memposisikan wanita Saudi selama puluhan tahun sebagai ‘swarga manut neraka katut’ alias warga kelas dua.

Para penguasa Saudi tampaknya paham betul tentang pengaruh besar ulama Wahabi garis keras ini. Apalagi terbentuknya Kerajaan Saudi antara lain lantaran aliansi Muhammad bin Abdul Wahab dan pengikutnya (Wahabiyah) dengan Sang Pendiri Kerajaan, Abdulaziz al-Saud, dan putra-putranya yang menggantikannya sebagai raja. Karena itu, untuk mengubah sikap dan pandangan para ulama Wahabi tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Peristiwa Serangan 11 September 2001 ke Gedung Kembar World Trade Center, New York, merupakan titik balik kebijakan Pemerintah Saudi. Serangan yang menewaskan lebih dari 3.000 jiwa itu sebagian besar pelakunya adalah warga Saudi, yang ditengarai lantaran pengaruh para ulama Wahabi garis keras.

Empat tahun setelah peristiwa berdarah itu, Raja Abdullah pun mengambil keputusan berani, merombak Haiatu Kibar al-Ulama, sebuah lembaga tertinggi ulama di Saudi, dengan memasukkan anggota-anggota baru yang mewakili empat mazhab. Bukan hanya dari ulama Wahabi.

Hal ini dianggap sebagai upaya cerdas Raja Abdullah untuk mengubah peta kekuatan di kalangan ulama. Apalagi ketika ia juga mencopot ketua Haiatu al-Amr bi al Ma’ruf wa an-Nahyu ‘an al-Munkar--yang dikenal sebagai polisi syariah--dengan ulama yang lebih moderat.

Keputusan berani Raja Abdullah untuk mengurangi pengaruh ulama garis keras ini kemudian juga diikuti Raja Salman dan Putra Mahkota Pangeran Muhammad. Mereka pun menabuh genderang ‘perang’ terhadap fatwa-fatwa ulama yang memicu sikap radikalisme dan yang dianggap antikemajuan.

Kewenangan polisi syariah yang sudah ada sejak 1940 pun mereka pangkas. Sedangkan di Haiatu Kibar al-Ulama yang beranggotakan 21 orang, mereka masukkan ulama-ulama baru yang beraliran lebih moderat untuk menggantikan mereka yang beraliran keras. Syekh Abdullah al-Mutlaq yang berfatwa perempuan tidak harus berabaya dan bercadar tadi, termasuk ulama moderat yang menjadi anggota Haiatu Kibar al-Ulama.

Sejumlah pihak menganggap pernyataan Syeikh al-Mutlaq sejalan dengan upaya modernisasi masyarakat Saudi, yang menjadi bagian dari reformasi sosial sesuai Visi 2030. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan lebih banyak kebebasan kepada perempuan Saudi.

Upaya reformasi ini telah ditandai dengan pencabutan larangan mengemudi mobil bagi kaum perempuan pada September 2017. Pada bulan yang sama, kaum perempuan juga diizinkan untuk berpartisipasi dalam perayaan Hari Nasional Saudi untuk pertama kalinya.

Bulan lalu, perempuan Arab Saudi juga diizinkan menonton sepak bola di stadion. Pada Desember lalu, ribuan perempuan Saudi bersorak meriah setelah konser musik yang menghadirkan penyanyi perempuan mulai diizinkan. Sebelum ini tempat olahraga dan hiburan hanya diperbolehkan bagi kaum pria.

Kini masih ada beberapa hal yang dilarang bagi kaum wanita kecuali atas persetujuan wali mereka. Antara lain membuat paspor, membuka rekening bank, membangun bisnis pribadi, menjalani operasi, dan keluar dari penjara setelah mengakhiri hukuman

Kita masih menunggu apakah pernyataan Syekh al-Mutlaq itu akan benar-benar diadopsi Raja Saudi dalam bentuk dekrit, seperti diizinkannya perempuan menyetir mobil. Ketika hal itu terjadi, kecantikan para perempuan Saudi yang selama ini menjadi misteri akhirnya akan tersingkap.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement