Sabtu 17 Feb 2018 06:07 WIB

Hukum dan Politik Kepentingan

Korban perkosaan bisa menjadi kriminal jika tidak bisa membuktikan sebagai korban.

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

Di negara hukum seperti Indonesia, hukum adalah panglima yang harus dipatuhi. Dan semua orang sama di mata hukum.

Akan tetapi, sebagai sebuah produk, ia tentu memiliki celah untuk dikoreksi dan selalu memerlukan perbaikan, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman.

Sayangnya, kadang kala upaya dan niat baik dalam bidang hukum tersebut justru bukannya memperbaiki malah sebaliknya. Seperti halnya rancangan KUHP yang mengangkat pasal perzinaan.

Perzinaan didefinisikan sebagai; "Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan." Semangat moralnya tentu saja kita apresiasi, tetapi pada pelaksanaannya bisa berpotensi masalah.

Pertama, korban perkosaan bisa menjadi kriminal jika tidak berhasil membuktikan diri sebagai korban. Alih-alih memenjarakan sang pemerkosa, korban perkosaan bisa dipenjara karena dianggap melakukan perzinaan.

Selain itu, pasangan suami istri yang telah melakukan pernikahan sah di suku pedalaman atau sah menurut kategori agama dan adat bisa-bisa dianggap melakukan tindakan kriminal jika tidak mempunyai surat nikah yang sah secara hukum.

Belum lagi, konsep RUU Peradilan Agama yang sempat tersebar di media sosial. Misalnya, ada kalimat seperti ini, “Setiap orang yang melakukan perzinaan dengan seorang perempuan yang menyebabkan perempuan tersebut hamil sedang ia menolak mengawininya dipidana dengan penjara pidana paling lama 3 (tiga) bulan.\"

Jika ini benar-benar diundangkan, kesannya berzina boleh asalkan jika sang wanita hamil, dinikahi. Dan kalaupun tidak bertanggung jawab setelah menghamili, hukumannya hanya tiga bulan. Seolah kesalahan menghamili wanita hanya mendapatkan hukuman seberat orang membuang sampah sembarangan.

Jika produk hukum tidak sempurna karena manusia tak luput dari kesalahan, tentu saja masih bisa dianggap proses alami. Akan tetapi, beberapa produk hukum justru menyimpang dan jauh dari esensi keadilan serta menimbulkan pertanyaan besar apakah ini sekadar untuk menjaga kepentingan tertentu.

Bagaimanapun, sebagian besar hukum adalah keputusan politik. UU dibuat melalui parlemen dan sungguh disayangkan bila politisi sampai menerbitkan hukum bersandarkan kepentingan politik. Lebih buruk lagi, produk undang-undang yang dihasilkan perwakilan partai tak jarang terkesan dibuat berdasarkan kepentingan mereka.

Sebagai keputusan politik, hukum bisa diselewengkan dan diterbitkan untuk mengamankan kepentingan politik.

Seperti ketika peluang calon independen naik menjadi kandidat presiden ditutup, banyak yang menduga aturan tersebut muncul demi memastikan bahwa presiden adalah perwakilan partai.

Sehingga jika ada seseorang yang sangat didambakan rakyat dan punya potensi menang sekalipun, tidak ada jalan lain baginya untuk menjadi presiden kecuali harus melabuhkan diri dulu pada partai yang ada.

Sekalipun di daerah memungkinkan munculnya calon independen, tapi diiringi peraturan dengan mekanisme yang sangat sulit dipenuhi.

Terakhir, muncul UU MD3 yang sangat protektif buat anggota parlemen. Dengan diterbitkannya UU MD3 kini anggota parlemen tidak bisa diperiksa aparat hukum sekalipun mendapat izin dari presiden karena harus melewati mekanisme internal Dewan Kehormatan. Artinya, jika internal anggota dewan tidak mengizinkan, aparat tidak bisa memeriksa.

Ada juga pasal yang sanggup memidanakan pihak-pihak yang dianggap merendahkan DPR dan pribadi anggota DPR. Padahal, MK dua tahun sebelumnya membatalkan pasal penghinaan kepada presiden dan wakil presiden lantaran dianggap bertentangan dengan semangat demokrasi.

Sungguh masyarakat awam hanya bisa berharap, dengan segala kekurangannya hukum tetap bisa menjaga dan menjunjung nilai keadilan. Semoga terdapat lebih banyak pihak yang sanggup mengawal agar hukum di Indonesia sampai kapan pun tidak akan menjadi buta semata demi melindungi kepentingan orang atau kelompok tertentu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement