Jumat 16 Feb 2018 13:55 WIB

Cegah Kerusakan Alam, PBNU Luncurkan Buku Fikih Energi

Sejatinya buku energi terbarukan merupakan inovasi dan gerakan hijau bersifat islami.

Rep: Novita Intan/ Red: Agus Yulianto
Pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia.
Foto: Pertamina
Pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Nahdlatul Ulama melalui Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU meluncurkan buku Fikih Energi Terbarukan: Pandangan dan Respon Islam atas Pembangkit Listrik Tenaga Surya. Peluncuran ini sebagai upaya atas pertimbangan akibat pencemaran lingkungan, baik tanah, udara maupun air, adalah bentukdlararatau kerusakan yang sifatnya haram dan termasuk perbuatan jinayat atau kriminal.

Sekretaris Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU, KH Marzuki Wahid mengatakan, pertimbangan tersebut sesuai dalam keputusan Muktamar Nahdathul Ulama (NU) Cipasung 1994. Sekaligus berdasarkan kajian-kajian tentang persoalan dasar energi, bagaimana pemenuhannya hingga hukum komersialisasi energi.

Lakpesdam NU melakukan kajian dalam bahtsul masail, mencari jawaban bagaimana Islam merespons kebutuhan energi terbarukan. Buku ini juga diluncurkan untuk memberikan penguatan pemanfaatan energi terbarukan dalam konteks agama, ujarnya di Jakarta, Jumat (16/2).

Menurutnya, buku ini berisi secara sharih atau jelas tentang kerusakan alam, meningkatnya emisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Sejatinya buku energi terbarukan merupakan inovasi dan gerakan hijau bersifat islami.

Fikih pada dasarnya dituntut untuk mampu menjawab problematika yang muncul dan berkembang di tengah masyarakat terutama persoalan dunia yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia. "Salah satunya adalah persoalan energi fosil yang tidak terbarukan dan terbatas serta solusi energi terbarukan," kata Marzuki.

Ia menambahkan, pencarian sumber energi baru untuk menggantikan energi fosil harus mempertimbangkan energi yang lebih menguntungkan.

Dari semua pemilihan energi terbarukan, kata dia, harus dipilih energi yang memiliki risiko paling kecil. Yaitu energi terbarukan yang ramah lingkungan, tidak merusak alam, tidak banyak menimbulkan efek kemafsadatan, dan bisa diakses oleh sebanyak-banyaknya masyarakat Indonesia.

Untuk itu ,ia menekankan, pemanfaat EBT sangat penting. Sebab, EBT ini bermanfaat untuk peningkatan taraf hidup masyarakat miskin melalui usaha mikro kecil dan menengah melalui energi terbarukan.

"Indonesia dikaruniakan sumber daya alam melimpah untuk dikembangkan menjadi energi terbarukan, yang bersumber dari sinar matahari, air, angin, biomassa gelombang laut dan panas bumi. Jadi harus dimanfaatkan sebaik mungkin," ujarnya.

Selain itu, pemerintah juga wajib menyediakan bahan bakunya. Tidak boleh selamanya bergantung pada impor.

Saat pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), bahan bakunya masih impor. "Untuk ke depannya diharapkan pemerintah bisa menyediakan bahan baku yang sama tapi tidak impor," ujar Marzuki.

Sehingga diharapkan, melalui buku ini, mendorong pemerintah dan masyarakat untuk memrakarsai pengembangan energi terbarukan. Hal ini bisa dicapai melalui program komprehensif sistemik demi percepatan transisi, dari sistem yang didominasi oleh energi fosil menuju energi terbarukan.

"Ini merupakan bagian dari ikhtiar kami mendorong kepada masyarakat, terutama pemerintah supaya ke depan lebih memperhatikan energi terbarukan," katanya.

Sementara Rektor UGM Panut Mulyono menambahkan, PBNU mulai memperhatikan persoalan energi terbarukan  "Mudah-mudahan bermanfaat sebesar-besarnya bagi umat dan bangsa Indonesia," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement