Jumat 16 Feb 2018 09:01 WIB

KPK Perpanjang Penahanan Tersangka Kasus BLBI

Penahanan tersangka BLBI diperpanjang 30 hari

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Bilal Ramadhan
Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung berjalan meninggalkan gedung KPK seusai diperiksa di Jakarta, Kamis (15/2).
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung berjalan meninggalkan gedung KPK seusai diperiksa di Jakarta, Kamis (15/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan perpanjangan penahanan terhadap mantan kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung. Syafruddin merupakan tersangka tindak pidana korupsi terkait dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

"Pada Kamis (15/2) dilakukan perpanjangan penahanan selama 30 hari mulai 19 Februari 2018 sampai dengan 20 Maret 2018 untuk tersangka SAT," kata Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah dalam pesan singkatnya, Jumat (16/2).

Diketahui, sampai saat ini, kata Febri, penyidik KPK masih fokus mendalami keterlibatan dari Syafruddin serta beberapa pihak terkait kasus yang merugikan negara sampai Rp 4,58 triliun. KPK menetapkan Syafruddin sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim.

SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi. Berdasar Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Syafruddin diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004. Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp 4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Sehingga hasil restrukturisasinya adalah Rp 1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak. Sedangkan Rp 3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya ada kewajiban BDNI sebesar Rp 3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara.

BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat krisis moneter 1998 di Indonesia. Skema untuk mengatasi masalah krisis ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF.

Bank Indonesia sudah mengucurkan dana hingga lebih dari Rp 144,5 triliun untuk 48 bank yang bermasalah agar dapat mengatasi krisis tersebut. Namun penggunaan pinjaman ternyata tidak sesuai dengan ketentuan sehingga negara dinyatakan merugi hingga sebesar Rp 138,4 triliun karena dana yang dipinjamkan tidak dikembalikan.

Terkait dugaan penyimpangan dana tersebut, sejumlah debitur kemudian diproses secara hukum oleh Kejaksaan Agung. Tapi Kejaksaan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kepada para debitur dengan dasar SKL yang diterbitkan oleh BPPN.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement