REPUBLIKA.CO.ID, SERANG -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten, Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan Kantor Wilayah Kementrian Agama Provinsi Banten mengimbau dan menyerukan kepada para calon kepala daerah, agar tidak mempolitisasi tempat ibadah selama pilkada berlangsung.
Ketua MUI Provinsi Banten KH AM Romly di Serang, Kamis (15/2), mengharapkan agar tempat ibadah tidak dijadikan tempat kampanye supaya tak terjadi gejolak di masyarakat yang mengatasnamakan agama apapun.
"MUI Provinsi Banten mengharapkan agar dalam meraih dukungan masyarakat, para calon bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota hendaknya melakukan cara-cara yang bermartabat dan tidak melakukan upaya-upaya yang menimbulkan konflik di masyarakat," katanya.
MUI Provinsi Banten pun berharap, agar seluruh pasangan calon dan timnya tidak melakukan politik uang dalam proses tahapan Pilkada karena dikhawatirkan merusak moral masyarakat. "Bawa beras atau apapun, singkong mungkin, terus diserahkannya di masjid, madrasah, itu sudah dikategorikan kampanye. Itu jangan sampai terjadi," kata Romly.
Kepala Kanwil Kemenag Banten Bazari Syam mengatakan, adanya imbauan untuk tidak menjadikan rumah atau tempat ibadah sebagai tempat kampanye agar tidak ada doktrin agama, ayat-ayat suci apapun untuk dukung-mendukung suatu calon.
Sebab, kata dia, dikhawatirkan umat bisa terpecah belah jika ayat-ayat suci baik kitab apapun, digunakan untuk mengarahkan dukungan kepada salah satu calon.
"Misalnya, ada calon yang satu perempuan yang satu laki-laki, yang dukung laki-laki menggunakan ayat ar-rijalu kowamuna ala nisa, yang laki-laki diatas perempuan. Kemudian yang mendukung perempuan menggunakan ayat lain, itu yang dikhawatirkan," katanya.
Ketua DMI Provinsi Banten Rasna Dahlan menambahkan, selain masjid dan musholah tidak digunakan sebagai sarana untuk pelaksanaan kampanye partai politik demi menjaga netralitas dan kemurnian tempat ibadah, diharapkan materi khutbah jumat, ceramah, kuliah subuh, seminar, diskusi, seresehan dan lain-lain tidak mengandung unsur suku, agama,ras dan antar golongan (SARA) dan provokasi yang menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat.