REPUBLIKA.CO.ID, BALIKPAPAN -- Para aktivis penyelamatan hewan mengingatkan kasus tewasnya orangutan Kalimantan Timur (Pongo pygmaeus morio) dengan ratusan luka tembak peluru senapan angin di Taman Nasional Kutai (TNK), merupakan puncak gunung es.
"Ini hanya puncak gunung es," kata Direktur Yayasan Penyelamatan Orangutan Kalimantan (Borneo Orangutan Survival Foundation, BOSF) Dr Jamartin Sihite, Selasa.
Pekan lalu, satu individu orangutan akhirnya tewas setelah menanggung hingga 130 luka tembak, luka sayatan, dan luka memar di sekujur tubuhnya. Dokter yang melakukan nekropsi atau bedah mayat setelah kematian menemukan tidak kurang dari 72 butir peluru senapan angin di kepala orangutan itu.
Dr Sihite kemudian membeberkan persoalan-persoalan dibalik peristwa itu. Pertama, tegasnya, sudah saatnya kepemilikan dan penggunaan senapan angin diatur dengan sangat ketat.
Menurut Jamartin, dengan kalibernya yang kecil, 3,5; 4,5; 5 mm, peluru senapan angin memang tidak serta merta membunuh orangutan, tapi dapat segera membunuh burung atau mamalia kecil seperti kukang, trenggiling, atau monyet. "Mungkin sekali jumlah burung-burung kita sudah berkurang jauh daripada yang kita ketahui. Begitu pula satwa yang juga dilindungi seperti kukang," kata Dr Sihite.
Bila mengacu kepada aturan, kepemilikan senapan angin memang sudah diatur ketat melalui Peraturan Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Nomor 8/2012. Untuk memiliki senjata angin, baik laras panjang (senapan) ataupun laras pendek (pistol) harus mendapatkan izin kepolisian.
Untuk mendapatkan izin itu yang mengajukan harus memenuhi sejumlah persyaratan, seperti berusia paling muda 15 tahun dan paling tua 65 tahun, sehat jasmani-rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter dan psikolog, melampirkan juga daftar riwayat hidup.
Bahkan ada persyaratan khusus yaitu sang pemilik harus anggota klub olahraga menembak yang terdaftar di Persatuan Menembak Indonesia (Perbakin). Senapan itu pun hanya diizinkan dipakai di arena latihan dan pertandingan menembak. "Kami minta aturan itu ditegakkan," tegas Dr Sihite.
Kemudian, fakta hasil nekropsi bahwa terdapat 130 luka tembak pada orangutan tersebut dengan umur luka yang berbeda-beda, maka bisa disimpulkan bahwa orangutan itu ditembaki pada kesempatan yang berbeda-beda. Ukuran peluru yang berbeda-beda juga menandakan terdapat lebih dari satu macam senapan angin yang digunakan.
"Dan mungkin saja lebih dari satu pelaku," kata Dr Sihite. Fakta hal tersebut terjadi di Taman Nasional juga menjadi catatan khusus.
Wilayah Taman Nasional yang mestinya terbebas dari pemukiman dan kegiatan manusia memang tidak demikian adanya di Taman Nasional Kutai. Di dalam Taman itu terdapat 2 kecamatan dengan penduduk seluruhnya tidak kurang dari 72 ribu jiwa berdasar data tahun 2013. Mereka tersebar di 5 desa, yaitu Teluk Pandan, Sangkima, Rantau Pulau, Menawang, dan Sangatta Selatan.
Jalan Trans Kalimantan poros Bontang-Sangatta juga membelah Taman Nasional ini sehingga akses keluar masuk kawasan memang sangat terbuka.
¿Selain wilayahnya yang memang sangat luas,¿ kata Kepala Balai Taman Nasional Kutai Nur Patria Kurniawan. TNK memiliki luasan hingga 198.629 hektare. Dipastikan juga bahwa wilayah seluas itu tidak lagi melulu hutan, tapi sudah beralih fungsi menjadi kebun, ladang, dan pemukiman, serta tempat usaha. Sebagai tempat usaha itu terkenal sejumlah tempat hiburan malam seperti karaoke, bar, dan lokalisasi pelacuran.
Hingga hari ini polisi masih terus bekerja untuk mengungkapkan kasus kematian orangutan tersebut. Kepolisian Resort Kutai Timur kini dibantu Badan Reserse Kriminal yang menurunkan Kepala Sub Direktorat Tindak Pidana Tertentu Komisari Besar Polisi Adi Karya Tobing.