Selasa 13 Feb 2018 21:05 WIB

SAS Institute: Ada Rentetan Provokasi Umat Beragama

Kejadian-kejadian ini seharusnya menjadi alarm bagi kita semua sebagai bangsa.

Petugas kepolisian melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) kasus penyerangan di Gereja Katholik St. Lidwina, Jambon, Trihanggo, Gamping, Sleman, DI Yogyakarta, Ahad (11/2).
Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko
Petugas kepolisian melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) kasus penyerangan di Gereja Katholik St. Lidwina, Jambon, Trihanggo, Gamping, Sleman, DI Yogyakarta, Ahad (11/2).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Said Aqil Siroj (SAAT) Institute menyoroti rentetan penyerangan terhadap pemuka agama. Direktur Said Aqil Siroj (SAS) Institute, M Imdadun Rahmat menangkap adanya tanda bahaya.

 

Imdadun menilai rangkaian peristiwa kekerasan ini bisa memicu konflik antar agama yang lebih luas. "Sebab terlihat pola yang mengarah pada provokasi kecurigaan kepada kelompok agama lain. Arahnya adu domba," kata Imdadun dalam siaran persnya kepada Republika.co.id, Selasa (13/2).

 

Secara khusus, Imdadun menilai bahwa  Yogyakarta sudah lampu kuning untuk kehidupan toleransi. Secara keseluruhan gerakan intoleransi di negeri ini kian mewabah dan merusak harmoni kehidupan beragama akhir-akhir ini.

 

SAS Institute menilai hal ini juga dimanipulasi secara politis untuk melakukan delegitimasi terhadap pemerintah. Permasalahan berikutnya, kata Imdadun, selalu ada kelompok dan kubu politik oposan yang memaknai peristiwa itu sebagai kegagalan pemerintah dan mengambil keuntungan secara politis atas aksi-aksi tersebut.

 

Menurut Imdadun, kejadian-kejadian ini seharusnya menjadi alarm bagi kita semua sebagai bangsa. "Bukan malah dipolitisir untuk mendelegitimasi pemerintah yang berakibat semakin runcing persoalan," kata Imdadun.

 

Imdadun juga memberikan catatan kritis kepada pemerintah, atas kinerja Badan Intelijen Negara yang belum bekerja dengan maksimal. 

 

Menurutnya, banyak sekali kejadian provokasi umat beragama yang tidak mampu terdeteksi oleh Badan Intelijen Negara. Sehingga secara liar dan masif opini yang tidak benar merebak di masyarakat.

 

"Jika melihat polanya, seakan rangkaian pristiwa ini adalah sebuah rekayasa mendisharmoni kehidupan sosial umat beragama. Rentang waktu kejadian tergolong pendek, dan motif aksi tidak jelas. Hanya semacam gerakan lone wolf yang sporadis," tukas Imdadun. 

 

Dirinya kembali menghimbau masyarakat luas agar tidak terprovokasi dengan aksi-aksi teror seperti ini. Forum-forum lintas agama juga harus kembali di maksimalkan fungsinya. Sebagai benteng utama umat beragama.

 

"Kepala BIN, harus mengevaluasi kebijakan dan kinerja para jajaran untuk membaca gerakan pengacau di masyarakat. Sistem intelijen membutuhkan kepemimpinan yang solid dan partisipatoris rakyat," kata Imdadun.

 

Sebelumnya, rangkaian penyerangan diawali dengan kasus penyerangan seorang Ulama NU Kiai Umar Bisri di Cicalengka. Disusul pemukulan Komandan Brigade Persis, Prawoto hingga tewas oleh sosok tak dikenal. Tersangka diduga orang yang kelainan jiwa.

 

Selang beberapa waktu, ada aksi persekusi terhadap Biksu Mulyanto. Persekusi dilakukan karena provokasi segelintir orang, bahwa rumah itu dijadikan tempat ibadah.

 

Tak lama, terjadi penyerangan di Gereja Katolik Lidwina, di Sleman. Aksi itu sempat melukai para jemaat misa dan Romo Karl Edmund mengalami beberapa luka sabetan senjata tajam. Beberapa berita tentang penyerangan imam masjid di Aceh dan perusakan masjid di Tuban viral di media sosial.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement