Sabtu 10 Feb 2018 06:36 WIB

Teknologi 'Warung Pintar' Mampu Selamatkan Warung Kelontong

Usaha retail tradisional cenderung dinilai tidak berkembang.

Rep: Nora Azizah/ Red: Winda Destiana Putri
Warung - ilustrasi
Foto: blogspot.com
Warung - ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Permasalahan tradisional dan klasik pada industri retail membuat keberadaan startup Warung Pintar sengaja berdiri. Usaha retail tradisional cenderung dinilai tidak berkembang.

"Padahal bisnis mikro menjadi unsur penting bagi perekonomian Indonesia," ujar Co-founder dan Chief Executive Officer (CEO) Warung Pintar Agung Bezharie ketika melakukan wawancara dengan Republika, beberapa waktu lalu.

Agung mengatakan, industri retail tradisional atau lebih akrab di telinga masyarakat dengan warung serba ada perlu mendapat perhatian di tengah berkembangnya teknologi. Warung kelontong atau sejenisnya sejak dulu sudah berdiri di tengah masyarakat dan melayani rakyat dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Dulu, bila hendak membeli kebutuhan pokok, seperti gula atau telur, pasti mendatangi warung kelontong di dekat rumah. Namun kini, minimarket modern menjadi pilihan masyarakat dan hampir bisa ditemui di setiap pengkolan jalan.

Agung menjelaskan, Warung Pintar melihat perusahaan teknologi akan terus menyasar pasar dari kelas menengah ke atas. Semua itu terjadi akibat adopsi cukup tinggi terhadap perkembangan teknologi. Kemudian kekuatan pasar Indonesia dalam jumlah populasi selalu menjadi daya tarik dunia mengembangkan usaha di dalam negeri.

Traditional retail atau warung tradisional menjadi tidak berkembang disebabkan pelaku usaha memiliki kesadaran rendah dalam mengadopsi teknologi untuk usahanya. Dengan demikian sulit bersaing bersama modern trade atau minimarket modern yang seolah tidak pernah mati. Namun dengan bantuan teknologi diharapkan bisa meningkatkan kesadaran pemilik warung bahwa usaha tersebut bisa dikembangkan.

Berdasarkan data internal Warung Pintar, di Jakarta dan sekitarnya hingga 2014 terdapat lebih dari 50 ribu warung. Kemudian berdasarkan penelitian Warung Pintar, satu warung memiliki penghasilan sekitar Rp 1,5 juta per hari. Pendapatan tersebut diperoleh pemiliki tidak hanya selaku warung ritel saja tetapi juga sebagai sarana komunitas lokal.

Pelanggan bisa menghabiskan waktu sekian jam untuk minum kopi dan mengobrol bersama rekan, bahkan bisa mendapatkan fasilitas mengisi ulang baterai ponsel. Kegiatan yang biasa dilakukan di kedai kopi mahal bisa pindah ke warung dengan biaya sangat terjangkau. Pelanggan juga bisa menyaksikan pertandingan sepak bola melalui layar televisi.

Warung Pintar menyediakan teknologi yang bisa digunakan pemilik, seperti Internet of Things (IoT) dalam meningkatkan akurasi pemasukan data ritel. Kemudian pemilik juga bisa memanfaatkan Big Data Analytics, yakni untuk memahami perilaku para pelanggan, serta Blockchain dalam transparansi dan kepercayaan kepada pemilik warung. Kemudian bila sebelumnya warung menggunakan sistem tradisional dari segi pembayaran, Warung Pintar menyediakan sistem MokaPOS atau Kasir Warung Pintar.

Pencatatan keuangan dan akuntansi menggunakan sistem jurnal. Perangkat lunak tersebut juga membuat pelanggan bisa membeli tiket dan barang lainnya, seperti yang dijual pada e-commerce, melalui Kudo. Pengadaan produk dan sistem distribusi ditopang Do-cart, sementara distribusi barang dipegang oleh Waresix. Ekosistem tersebut mempermudah proses transaksi jual beli melalui warung.

"Inovasi kami memang fokus pada pemilik dan penjaga warung, sebab sejauh ini teknologi yang ada belum mendukung pekerjaan mereka," lanjut Agung. Warung Pintar juga mencerminkan 'teknologi kerakyatan', yakni semua rakyat bisa merasakan pengaruh teknologi secara lebih yata dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian bagi pemilik dan penjaga warung bermanfaat untuk meningkatkan penghasilan dan fasilitas bagi pelanggan bila dibandingkan dengan sebelumnya.

Agung menjelaskan, terkait keberadaan minimarket modern, Warung Pintar sangat kompeten bisa bersaing dengan pelaku usaha jenis tersebut. Warung Pintar jauh lebih unggul dari sisi teknologi. Bahkan usaha tersebut sangat fokus pada pemilik warung yang memiliki kompetensi lebih menggunakan teknologi langsung di depan pelanggan.

Meski saat ini minimarket menjamur, namun budaya belanja bagi masyarakat Indonesia lebih nyaman membeli poduk ke tempat yang sudah akrab dengan pemiliknya. Kondisi tersebut membuat minimarket modern tidak lagi menjadi pesaing terberat karena berbeda segmen dan pasar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement