Jumat 09 Feb 2018 19:32 WIB

Hari Pers Nasional, Presiden: Pers Semakin Diperlukan

Pers sebagai pilar keempat demokrasi akan sulit bersaing dengan media sosial.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Budi Raharjo
Presiden Republika Indonesia Ir Joko Widodo memberikan sambutan dalam acara puncak peringatan hari pers nasional 2018 di Danau Cimpago, Kota Padang, Provinsi Sumatra Barat, Jumat, (9/2).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Presiden Republika Indonesia Ir Joko Widodo memberikan sambutan dalam acara puncak peringatan hari pers nasional 2018 di Danau Cimpago, Kota Padang, Provinsi Sumatra Barat, Jumat, (9/2).

REPUBLIKA.CO.ID,PADANG -- Tantangan yang dihadapi insan pers masa kini semakin nyata. Dalam sambutannya saat menghadiri puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2018 di Kota Padang, Sumatra Barat, Presiden Jokowi mengingatkan pelaku media massa untuk terus berinovasi dalam meladeni derasnya arus digitalisasi.

Jokowi menyebutkan, tak sedikit analisis yang memprediksi bahwa media massa akan tergeser oleh popularitas media sosial dan media daring yang lahir secara masif. Adanya anggapan bahwa pers selaku pilar keempat demokrasi akan sulit bersaing dengan media sosial dan akselerasi konsumsi layanan digital saat ini.

Kondisi ini, lanjutnya, justru rawan melahirkan produk berita yang mengandung informasi bohong atau hoaks dan porsi berita yang tak berimbang. Meski begitu, Jokowi yakin keberadaan media massa yang terverifikasi masih mampu untuk menjadi media yang memberikan informasi aktual dan sesuai fakta. Artinya, pers yang bertanggung jawab merupakan benteng terbaik bagi masyarakat untuk menampik berita hoaks.

"Namun saya percaya di era lompatan kemajuan teknologi dan di era melimpahnya informasi dan mis-informasi, justru pers makin diperlukan," jelas Jokowi saat memberikan sambutan HPN 2018 di Danau Cimpago, Padang, Jumat (9/2).

Bahkan Jokowi menegaskan pandangannya bahwa pers justru semakin diperlukan di tengah tantangan media massa saat ini. Pers, lanjutnya, semakin diperlukan sebagai penyampai kebenaran, penegak fakta, dan penyampai aspirasi bagi masyarakat. Pers, lanjut Jokowi, diperlukan untuk membangun narasi kebudayaan baru perdaban baru, serta memotret masyarakat yang bergerak efisien dan cepat.

"Fenomena ini yang lahirkan revolusi industri 4.0 yang berbasis kepada digitalisasi dan kemampuan analisis data," jelas Jokowi.

Sementara itu, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo menilai bahwa tantangan media massa memang semakin terasa di tengah generasi yang serba digital. Sebetulnya, Yosep melanjutkan, Indonesia cukup menjunjung kemerdekaan pers bila dilihat dari segi kuantitas media massa.

Betapa tidak, terdapat total 47 ribu jenis media massa di Indonesia. Rinciannya, media massa di Indonesia terdiri atas 2 ribu media cetak, 674 media radio, 523 media televisi baik nasional dan daerah, dan sisanya 43.300 media daring atau online.

Dari distribusi jumlah media massa itu saja, lanjutnya, bisa tergambarkan betapa jumlah media daring sedang menunjukkan tren peningkatan yang sulit dibendung. Di sisi lain justru terlihat adanya tekanan bagi media cetak. Adi memandang bahwa media massa sedang memasuki ambang transisi. Ia menyadari tak sedikit keluhan tentang surat kabar yang tak lagi sanggup terbit lantaran oplah percetakan yang merosot.

Arus digitalisasi yang kuat tak hanya berimbas pada pergeseran pola konsumsi masyarakat terhadap informasi, namun juga bentuk komunikasi antara pejabat pemerintah dengan rakyatnya. Adi memberi gambaran, di masa lalu pejabat pemerintah lebih memilih berkomunikasi lebih dulu dengan pemimpin redaksi misalnya, untuk mengemukakan pokok persoalan publik. Setelahnya baru kemudian redaksi media yang bersangkutan menyampaikan kepada masyarakat melalui media massa, koran contohnya.

Situasi saat ini jauh berbeda. Pejabat negara dengan mudah bisa langsung berkomunikasi dengan masyarakat melalui akun media sosial yang ia miliki. Dalam hitungan detik, informasi yang ingin disampaikan pemerintah bisa terdistribusi langsung dari sumber utama. Pola seperti itu hanya satu contoh betapa kuatnya kemajuan teknologi informasi mampu mengubah pola-pola komunikasi antara pemerintah dengan rakyat yang selama ini telah terbangun.

Tak hanya sampai di situ, Adi juga menyinggung mulai maraknya media massa yang mengangkat bahan perbincangan yang sedang hangat di media sosial sebagai materi peliputan. Tuntutan akan konsumen digital yang semakin tinggi juga mendorong pihak-pihak untuk memanfaatkan situasi.

 

Media-media daring bermunculan. Buntutnya, terjadi proses rekrutmen pewarta yang tidak dibekali kemampuan jurnalistik. Kondisi ini tentu semakin membengkakkan risiko terhadap penyebaran berita hoaks.

"Yang harus diingat, platform media mungkin akan berubah, namun jurnalisme akan tetap eksis. Tugas kita adalah mengawal kebangsaan kita termasuk menyampaikan kritik dan pandangan independen," ujar Adi.

Dewan Pers sebetulnya bukan tanpa usaha untuk mencegah lahirnya produk jurnalistik yang lemah. Hingga saat ini, lanjut Adi, Dewan Pers telah menggandeng 26 lembaga terverifikasi untuk menguji kompetensi terhadap 14 ribu wartawan. "Dewan Pers ingatkan kembali bahwa pers dan wartawan Indonesia adalah bagian dari upaya membentuk dan menjaga nation state," kata Adi.

Di sisi lain, Gubernur Sumatra Barat Irwan Prayitno memandang bahwa pers merupakan mitra pemerintah. Ia menyadari bahwa program-program pembangunan tidak akan tersampaikan kepada masyarakat tanpa adanya proses jurnalistik yang dilakukan insan pers.

Irwan meminta kepada wartawan, baik dari media cetak, televisi, radio, dan daring untuk terus berproses menjadi peramu karya jurnalistik yang berimbang dan obyektif. "Kritik membangun juga kami nantikan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement