REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Suara Muhammadiyah (SM) telah mengalami begitu banyak perkembangan yang menjadikannya lekat sebagai media pencerahan umat dan bangsa. Hal itu turut dirasakan Pemimpin Umum SM, Buya Syafii Maarif, salah satu sosok penting yang senantiasa menjadi bagian dari perkembangan-perkembangan yang terjadi pada SM.
Buya mengaku tidak heran SM mampu bertahan 103 tahun lamanya. Terlebih, melihat perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam pengelolaan, membuatnya yakin media ini masih bertahan di masa-masa yang akan datang.
Ia turut bersyukur saat ini SM dikelola orang-orang yang memang secara manajemen profesional. Tidak heran, SM belakangan bukan sekadar bertahan, melainkan telah melahirkan anak-anak perusahaan baru.
"Sekarang sudah semakin bagus karena ada manajemen yang profesional, lahirkan anak-anak perusahaan, yang artinya pengelolaan memang sudah profesional," kata Buya Syafii, Rabu (7/2).
Bahkan, tidak lama lagi SM akan menelurkan kolom-kolom tulisan baru, yang diisi tokoh-tokoh populer di Indonesia. Hal itu merupakan langkah yang bertujuan agar SM lebih diminati masyarakat luas.
Walau mengalami pasang surut, keperkasaan SM menghadapi derasnya tantangan zaman patut disyukuri. Bisa dibilang, SM merupakan satu-satunya majalan di Indonesia yang bertahan sampai 103 tahun.
Itu tidak lain merupakan satu hadiah tambahan yang didapat, setelah berhasil melepas satu pola pikir kalau SM hanya merupakan media komunitas. Perubahan yang terus terjadi di dalam SM sendiri diakui banyak membantu proses itu.
Keperkasaan itu dirasa sangat penting mengingat cukup banyak media komunitas, yang secara tanpa sadar membuat masyarakat terjebak dalam pola pikir itu. Karenanya, Buya Syafii turut bersyukur masyarakat Indoneisa semakin memahami arti SM itu sendiri.
"Paling tidak bangsa ini paham bukan hanya Muhammadiyah yang berjasa bagi bangsa, SM itu sendiri cukup berjasa bagi bangsa," ujar mantan ketua umum PP Muhammadiyah tersebut.
Menengok ke belakang, ia merasa memang SM tidak banyak menemukan orang-orang yang memiliki kemampuan mengelola perusahaan secara profesional. Namun, beberapa tahun terakhir orang-orang itu muncul.
Buya bahkan tidak ragu menyebut kiprah orang-orang baru itu bagi SM luar biasa. SM sendiri tidak lama lagi akan meresmikan gedung baru dengan lima lantai, yang dirasa merupakan sumbangsih besar generasi-generasi baru tersebut.
Pembangunan yang malah tidak memerlukan bantuan pihak-pihak luar, membuat lompatan besar dari generasi-generasi baru yang ada semakin terasa luar biasa. Secara pribadi, ia mengaku lompatan ini tidak pernah terpikir bisa dilakukan generasi muda.
Secara redaksional, lanjutnya, sentuhan-sentuhan generasi muda bisa terlihat jelas di SM. Karenanya, walau tetap perlu diawasi, muncul perspektif baru kalau anak-anak muda yang diberikan kepercayaan ternyata bisa memberikan sumbangsih yang luar biasa.
"Ini lompatan luar biasa, ternyata anak-anak muda ini bila diberikan kepercayaan, walau tetap harus diawasi, mereka bisa melakukan hal-hal yang tidak terbayangkan," kata Buya.
Pers arus utama
Salah satu keberhasilan SM tentu mengubah pandangan dari pers arus utama itu sendiri. Bahkan, pada Hari Pers Nasional (HPN) 2018 di Padang, Sumatra Barat, SM akan menerima penghargaan sebagai Media Dakwah Pelopor Kemerdekaan RI.
Buya turut mengapresiasi penghargaan itu. Ia bersyukur, insan-insan pers arus utama dapat memahami kalau ternyata memang ada media yang dikelola publik, dan mampu memberikan sumbangsih yang tidak kecil bagi bangsa.
Menelisik ke belakang, gaya baru SM dirasa baru terjadi sekitar 1965. Itu terjadi ketika sosok bernama Syafii Maarif masih menuntut ilmu di IKIP Negeri Yogyakarta. Masa itu ia merasakan betul keteraturan yang mulai terjadi dalam banyak aspek yang ada di SM.
Memimpin sejak 2003 sampai hari ini, Buya turut mengapresiasi orang-orang yang memberikan andil atas perubahan-perubahan itu. Bicara perubahan, kata Buya Syafii, SM turut pula menjadi saksi lahirnya perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Salah satu fakta yang tidak banyak diketahui orang pun terungkap ketika unsur sejarawan-sejarawan bergabung ke SM belakangan. Fakta itu merupakan seruan jihad yang ternyata sudah pula dikeluarkan Muhammadiyah pada 1946.
Seruan itu menjadi bagian dari munculnya gerakan-gerakan perjuangan kemerdekaan di Indonesia. "Itu ada buktinya, dan ternyata banyak sekali dokumen-dokumen yang membuktikan andil besar Muhammadiyah bagi kemerdekaan bangsa Indonesia," ujar Buya.
Pelestarian dokumen-dokumen ini ia lihat sebagai salah satu kekurangan generasi lama. Maka itu, Buya mengungkapkan, SM di era milenial ini fokus pula mengumpulkan dokumen-dokumen penting perjalanan Muhammadiyah maupun bangsa Indonesia.
Perbaikan dari aspek-aspek itu dirasa memang suatu keharusan untuk dilakukan. Jika tidak, ia merasa SM atau Muhammadiyah sendiri sebagai rumah besarnya bukan tidak mungkin kehilangan tempat untuk berpijak.
"Melalui dokumen-dokumen itu pula kita ketahui bahwasanya Kiai Dahlan (KH Ahmad Dahlan), ternyata bukan pemimpin redaksi SM yang pertama, Kiai Dahlan cuma anggota, pemimpin redaksi pertama adalah Haji Fahrudin," kata Buya.
Dari fakta itu, apa yang dilakukan KH Ahmad Dahlan coba direfleksikan ke era milenial. Pasalnya, pendiri Muhammadiyah itu tidak segan menyerahkan posisi penting pemimpin redaksi SM, sekalipun itu kepada muridnya.
Bahkan, sebagai sosok yang pernah memimpin Muhammadiyah, Buya Syafii mengaku belum begitu merefleksikan apa yang telah dilakukan KH Ahmad Dahlan tersebut. Karenanya, beberapa tahun belakangan langkah itu coba diterapkan lagi ke SM.