Jumat 09 Feb 2018 04:31 WIB
Di Tengah Trust Masyarakat yang Berbeda

Proporsional Memaksakan Aturan Zakat

Masyarakat menganggap, PPh dan Perpres zakat merupakan dua aturan yang memaksakan.

Muhamad Afif Sholahudin
Foto: dok. Pribadi
Muhamad Afif Sholahudin

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhamad Afif Sholahudin *)

Menteri Agama Lukman Hakim sempat mengeluarkan wacana seputar kebijakan pemerintah untuk menarik zakat 2,5 persen bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) Muslim. Kebijakan yang dikeluarkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) ini ditegaskan bukan paksaan sehingga ASN yang merasa keberatan dapat mengajukan permohonan. Sistemnya berupa pemotongan rutin sebanyak 2,5 persen dari gaji pegawai setiap bulannya, lalu dikumpulkan oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) milik pemerintah untuk diserahkan kepada para mustahik yang berhak menerimanya.

Sebagian kalangan menilai, wacana ini, memuat kontroversi ketika hendak diterapkan kepada masyarakat khususnya ASN yang digaji oleh negara. Pasalnya, pemerintah belum bisa menarik hati masyarakat karena track record kebijakan bagi umat Islam yang menuai kritik sebelumnya, seperti pemanfaatan dana haji untuk infrastruktur. Hal ini wajar karena di tengah situasi politik yang hangat, haji dan zakat adalah dua rukun Islam yang wajib dipenuhi oleh masyoritas orang Indonesia dengan pengelolaan dana yang tidak sedikit. Meskipun kedua kasus ini berbeda konteks, namun cepatnya arus penyebaran informasi mampu mempengaruhi  paradigma penikmat sosial media.

Tak ada yang aneh saat Menteri Lukman menjelaskan latarbelakang keluarnya Perpres karena potensi zakat di Indonesia yang sangat besar. Begitupun upaya pemerintah untuk mengaktualisasikan pembayaran zakat yang dikumpulkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan umat melalui Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), sebab sejak awal lembaga amil tersebut milik pemerintah. Menag hanya menegaskan bahwa perpres yang akan dikeluarkan bersifat imbauan dan bukan paksaan, jika ada keberatan maka dapat mengajukan permohonan.

Sebelumnya sudah keluar Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat, sebab Inpres sifatnya terbatas memberikan arahan atau membimbing suatu pelaksanaan tugas, berbeda dengan Perpres yang bersifat mengatur (regeling). Inpres yang keluar pada era SBY rupanya jarang didengar, padahal instruksi itu diberikan kepada seluruh pegawai/karyawan beragama Islam yang berada di lingkungan instansi negara yang disebutkan.

 

Artinya tugas sosialisasi informasi dan kewajiban memfasilitasi berjalannya optimalisasi zakat sudah turun arahan langsung dari presiden. Juga dalam Inpres terdapat instruksi khusus kepada Mendagri dan Menteri BUMN untuk mendorong jajarannya dalam melakukan optimalisasi zakat. Maka, keluarnya Perpres tidak lain menguatkan Inpres agar pengaturannya lebih efektif.

Hanya saja yang menjadi faktor pemicu kontradiksi di tengah masyarakat adalah unsur pelaksanaan zakat sebagai salah satu kewajiban yang telah ditentukan syarat dan rukunnya dalam Islam. Ditinjau dari fiqh, maka metode penarikan zakat dari gaji PNS tiap bulan adalah bentuk zakat profesi (zakah rawatib al-muwazhaffin) yang tidak semua kalangan Muslim menerimanya.

 

Sebagian memandang zakat profesi tidak memenuhi ketentuan zakat harta, dimana seharusnya uang hasil gaji harus diakumulasikan dulu dengan uang yang sudah dimiliki sebelumnya, saat mencapai nishab dan berlalu haul atasnya, maka boleh dikeluarkan zakatnya. Sejalan dengan pendapat ini adalah ulama-ulama populer seperti Dr Wahbah Az Zuhaili, Syaikh bin Baz, hingga hasil Bahtsul Masail NU dan Dewan Hisbah Persis yang tidak sejalan dengan zakat profesi.

Sedangkan zakat ini adalah produk fiqh kontemporer yang diambil dari beberapa ulama populer, seperti Dr Yusuf Al-Qardhawi dan Dr Abdul Wahhab Khallaf, termasuk MUI dan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Umumnya, mereka mengqiyaskan nishab, waktu dan kadar zakat yang dikeluarkan kepada zakat emas perak atau dianalogikan kepada zakat pertanian.

 

Adapun pendapat yang diambil oleh Baznas adalah waktu pembayaran dan nishabnya dilandaskan kepada zakat pertanian, yaitu dibayarkan ketika digaji dan nishobnya setara 524 kg makanan pokok. Tarifnya dilandaskan kepada zakat emas perak yaitu sebesar 2,5 persen (baznas.go.id).

Faktor lain penyebab ketidakpercayaan masyarakat muncul karena PNS yang dibebankan untuk pembayaran zakat pun mempunyai beban untuk membayar Pajak Penghasilan (PPh). Masyarakat menganggap, PPh dan Perpres zakat merupakan dua aturan yang memaksakan gajinya untuk dipotong di awal.

 

Pasalnya, banyak dari PNS merasa gaji sepenuhnya saja yang seharusnya diterima belum tentu cukup menghidupi keluarganya apalagi dipotong ‘beban ganda’ langsung diawal. Kemungkinan, kecurigaan ini muncul karena banyak yang belum mengerti sistem pengurang PPh dari bukti pembayaran pajak. 

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 22 UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, bahwa zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada Baznas atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak. Hal ini sebelumnya sudah ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (1) PP No 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang boleh dikurangkan dari Penghasilan Bruto, bahwa zakat atas penghasilan yang dibayarkan wajib pajak pribadi atau badan dalam negeri kepada BAZ atau LAZ yang dibentuk atau disahkan pemerintah termasuk yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

 

BAZ atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat muzakki yang dapat digunakan sebagai pengurang penghasilan bruto dalam pengisian SPT tahunan. Sayangnya, sedikit dari wajib pajak muslim yang menyadari hal ini, ditambah kurangnya sosialisasi pemerintah terkait regulasi yang mengakomodir pelaksanaan optimalisasi zakat.

Tak hanya itu, faktor lain berupa lemahnya daya tarik BAZ milik pemerintah dalam mewadahi penempatan pembayaran zakat masyarakat kepada lembaganya. Dokumen statistik Baznas (2016) menunjukkan penyerapan dana yang digunakan lebih efektif dilakukan oleh LAZ yang bukan milik pemerintah dengan penghimpunan sekitar Rp 2.039 miliar dan penyaluran sebesar Rp 1.264 miliar.

 

Berbeda dengan Baznas (Pusat, Provinsi, dan Kab/Kota) dengan total hanya menghimpun sekitar Rp. 1.615 miliar dan menyalurkan sebesar Rp 988 miliar (puskasbaznas.com). Artinya masyarakat masih banyak yang menaruh kepercayaan kepada amil yang bukan milik pemerintah, sedangkan Perpres nanti memaksa agar pemotongan diserahkan kepada Baznas.

Maksud keluarnya Perpres ini tidak lain mengarahkan yang awalnya mekanisme pembayaran masih dikatakan sukarela (voluntary system), maka dengan adanya Perpres mencerminkan adanya keharusan (obligatory system). Bukan tugas yang mudah bagi pemerintah untuk menyiapkan perangkat bagi 4,5 juta lebih ASN yang berpotensi ditarik zakatnya, tugas lainnya adalah memunculkan sinergitas antara masyarakat yang sudah memiliki 'trust' terhadap konsep zakatnya tersendiri dengan masyarakat yang menerima apa adanya.

Hati-hati dalam mengatur trust masyarakat atas kewajiban zakat, sebab dampaknya justru semakin meluas. Seperti dikatakan Menag kemarin di Jakarta, "Kami menjelaskan bahwa mereka membelanjakan kemaslahatan itu secara umum bisa jadi infrastruktur juga masuk," (okezone.com 7/2/2018). Justru hal ini yang memicu kontradiksi. Pasalnya, mafhum masyarakat menganggap, dana zakat hanya digunakan untuk kepentingan sosial yang termasuk delapan ashnaf. Jika penggunaan dana untuk kepentingan infrastruktur maka akan memunculkan 'kontroversi dana haji' jilid II dengan banyak pertentangan.

*) Supervisor of Islamic Law Policy Analysis Forum (ILPAF)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement