Kamis 08 Feb 2018 05:57 WIB

Momentum Zakat

ASN yang dipotong gajinya harus meneken pernyataan tertulis kesediaan berzakat.

Rumah Zakat Gelar Aksi Bakti Pendidikan
Rumah Zakat Gelar Aksi Bakti Pendidikan

REPUBLIKA.CO.ID, Pemerintah sedang menyiapkan peraturan presiden (perpres) tentang pungutan zakat bagi aparatur sipil negara (ASN) yang beragama Islam. Perpres ini bakal mengatur pemotongan gaji seorang ASN Muslim untuk zakat sebesar 2,5 persen.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menjelaskan, pemotongan zakat dari ASN Muslim ini bukanlah kewajiban. Pemotongan gaji untuk zakat ini bersifat sukarela. Bagi ASN yang tak bersedia gajinya dipotong, tidak bakal kena sanksi apa pun. Demikian pula, bagi ASN yang dipotong gajinya untuk zakat bukan berarti diistimewakan dalam kariernya.

Atas dasar ini, ASN yang bersedia dipotong gajinya harus meneken pernyataan tertulis kesediaan menyisihkan 2,5 persen untuk zakat. Bagi yang tak bersedia, bisa mengajukan surat keberatan. Semuanya mesti dilakukan tertulis dalam sebuah akad perjanjian kedua pihak. ASN Muslim diberikan keleluasaan untuk menentukan pilihan. Itulah indahnya Islam.

Sebagai negara yang berideologikan Pancasila dengan sila pertama \"Ketuhanan Yang Maha Esa\", Indonesia menjamin kebebasan warga negaranya untuk memeluk agama dan keyakinan masing-masing. Dalam konteks ini, pemerintah memfasilitasi dan melayani segala kebutuhan pengamalan ajaran agama warga negaranya.

Tak heran jika dalam pelaksanaan ibadah haji, pemerintah melalui Kementerian Agama memfasilitasi warganya menunaikan salah satu rukun Islam tersebut. Di Kementerian Agama terdapat Direktorat Pelaksanaan Haji dan Umrah yang di antara fungsinya adalah merumuskan kebijakan, melaksanakan penyelenggaraan haji dan umrah, memberikan bimbingan teknis, dan mengevaluasinya.

Dalam hal pelaksanaan ibadah puasa, pemerintah juga memfasilitasi hak beragama bagi Muslim tersebut dengan menggelar sidang itsbat untuk menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan. Pemerintah tidak memaksa hak beragama tersebut. Semuanya dikembalikan kepada masing-masing individu untuk menentukan pilihan.

Hal serupa juga berlaku untuk rencana pemberlakuan zakat ASN dengan potong gaji. Pemerintah tidak bermaksud masuk ke ranah privasi warga negara, tetapi hanya mengatur dan memfasilitasi jika ada warganya yang berkenan dengan pemotongan gaji tersebut.

Akad yang disepakati mesti mempertimbangkan juga kaidah batas minimal jumlah penghasilan yang wajib kena zakat atau nisab. Jika ada ASN yang penghasilannya di bawah nisab, tidak boleh gajinya dipotong untuk zakat. Kategorinya masuk sebagai infak atau sedekah bila ASN tersebut tetap menginginkan gajinya dipotong, bukan sebagai zakat.

Aspek transparansi dan akuntabilitas merupakan hal terpenting nantinya dalam pemberlakuan kebijakan tersebut. Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) sebagai lembaga yang nanti mengumpulkan zakat ASN harus bertindak profesional. Kementerian dan lembaga bisa menjadi unit pengumpul zakat (UPZ) atau kepanjangan tangan dari Baznas.

Namun, pengelolaan UPZ ini mesti menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas sebagaimana Baznas. Dalam hal pengumpulan mesti terkelola secara profesional, dalam hal penggunaannya juga demikian. Baznas dituntut mengelola dan menyalurkan dana zakat itu bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan umat. Bisa untuk kegiatan sosial, pendidikan, kesehatan, hingga bencana alam.

Jangan sampai kemudian hari masyarakat mencurigai penggunaan dana zakat oleh Baznas di luar kewajaran. Prinsip kehati-hatian mesti benar-benar diterapkan. Dana zakat dari umat harus kembali untuk kemaslahatan umat.

Apalagi, potensi pengumpulan dana zakat ini diprediksi bisa tembus Rp 10 triliun per tahun. Bukan angka yang sedikit. Tentunya jika digunakan secara baik dan benar akan mampu memberdayakan umat dalam segala hal. Semoga perpres yang masih dikaji pemerintah ini menjadi momentum kebangkitan zakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement