Kamis 08 Feb 2018 05:39 WIB

Lampu Kuningnya Konsumsi Rumah Tangga

Penurunan daya beli menjadi penyebab turunnya konsumsi rumah tangga tahun lalu.

Rep: Rahayu Subekti, Ahmad Fikri Noor/ Red: Elba Damhuri
Pasar rakyat (ilustrasi)
Foto: Republika
Pasar rakyat (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Stagnasi pertumbuhan konsumsi rumah tangga sepanjang 2017 masih berpotensi berlanjut pada tahun ini. Oleh karena itu, pemerintah harus fokus mencari solusi dalam mengatasi hal tersebut.

Ekonom dari The Institute for Development of Economics and Finance Eko Listiyanto menilai, konsumsi rumah tangga pada tahun lalu yang hanya tumbuh 4,95 persen bisa menjadi lampu kuning bagi pemerintah. "Sangat mungkin. Sebab, tahun depan itu tantangannya berat," katanya di Jakarta, Rabu (7/2).

Apalagi, menurut Eko, pertumbuhan ekonomi pada 2018 diproyeksikan masih berada pada kisaran lima persen. Sekalipun ekonomi meroket hingga 6,5 persen maka konsumsi rumah tangga diperkirakan 5,5 persen. "Begitu sekarang (pertumbuhan ekonomi) turun ke 5,07 persen, konsumsi rumah tangga yang sekarang hanya di kisaran 4,95 persen," ujar Eko.

Ihwal perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga, dia menganggap, penurunan daya beli sebagai pemicunya. Dia mengungkapkan, hal itu terjadi karena ada kenaikan harga yang diatur pemerintah (administered prices). Salah satunya tarif listrik.

Pada awal tahun ini, ada potensi dari lonjakan harga beras. Sebab, sekitar 25 persen dari pendapatan masyarakat miskin dipergunakan untuk membeli beras. Selain beras, konsumsi barang lain yang juga tinggi pada masyarakat miskin adalah rokok dan pulsa.

Faktor lain yang menjadi ancaman adalah harga minyak. Saat ini harga dalam negeri sudah terlalu jauh dibandingkan harga jual di pasar internasional. "Mengotak-atik energi pasti akan berpengaruh ke daya beli," kata Eko.

Meskipun begitu, menurut dia, masih ada faktor yang membuat penurunan daya beli tidak terlampau dalam. Faktor itu adalah masyarakat kelas menengah Indonesia yang persentasenya di atas 50 persen dari jumlah penduduk.

Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati menilai, pertumbuhan ekonomi pada 2017 menjadi alarm terjadinya stagnasi. Hingga akhir 2017, ekonomi tumbuh 5,07 persen. Padahal, pemerintah menargetkan bisa sampai 5,2 persen.

Untuk itu, menurut Enny, tahun lalu menjadi momentum bagi Indonesia untuk bisa bersiap menumbuhkan ekonomi lebih baik lagi pada 2018. "Ini ada apa, Indonesia malah stagnan sendiri hanya mampu tumbuh di kisaran angka lima persenan," kata Enny.

Enny merasa hal itu cukup mengkhawatirkan. Apalagi, tahun lalu bukanlah tahun politik. Pada tahun ini yang digadang-gadang sebagai tahun politik, investor bersikap menunggu dan melihat. "Jika nanti ada kendala krusial, 2018 akan menjadi tahun yang krusial. Padahal, untuk terjadinya akselerasi dibutuhkan investasi," ujar Enny.

Dia pun mengharapkan, pemerintah bisa melakukan upaya dari banyak hal agar daya beli bisa meningkat sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Menurut Enny, ajang Asian Games 2018, Piala Presiden 2018, dan pertemuan tahunan Bank Dunia-IMF di Bali juga bisa menjadi peluang untuk menggerakkan konsumsi rumah tangga.

BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV 2017 tumbuh sebesar 5,19 persen. Dengan demikian, secara akumulatif, ekonomi Indonesia sepanjang tahun lalu mencapai 5,07 persen. Pencapaian ini berada di bawah target yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2017, yaitu 5,2 persen.

Realisasi ini juga berada di bawah ekspektasi Bank Indonesia (BI) sebesar 5,1 persen. Akan tetapi, realisasi pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun lalu lebih baik dibandingkan realisasi pada 2014-2016, yang masing-masing tercatat 5,01 persen, 4,88 persen, dan 5,03 persen.

Khusus pada tahun lalu, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,95 persen. Realisasi ini lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi secara akumulatif. Jika dirunut beberapa tahun ke belakang, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada 2017 menjadi yang terendah sejak 2012.

Sejumlah pejabat pemerintah berkomitmen menjaga daya beli masyarakat dengan menekan inflasi. Selain itu, berbagai program juga disiapkan, mulai dari Program Keluarga Harapan hingga Dana Desa. Penunjang lainnya adalah pelaksanaan pilkada serentak dan Asian Games 2018.

Distribusi

Pengamat ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Fithra Faisal menilai, pemerintah perlu lebih mendistribusikan komponen pembentuk struktur perekonomian Indonesia. Sebab, saat ini ekonomi Indonesia masih bergantung pada konsumsi rumah tangga.

Baca Juga: Begini Penilaian IMF Atas Ekonomi Indonesia 2017

Dia mengatakan, struktur perekonomian Indonesia pada 2017 yang berdasarkan pengeluaran didominasi oleh konsumsi rumah tangga sebesar 56,13 persen, diikuti investasi 32,16 persen dan ekspor 20,37 persen. "Kita sangat bergantung pada konsumsi rumah tangga. Ke depan, kita perlu mendistribusi ke variabel lain," ujar Fithra, Selasa (6/2).

Fithra mengatakan, komponen ekspor justru bisa tumbuh tinggi dengan capaian pertumbuhan kumulatif pada 2017 sebesar 9,09 persen. Capaian itu tertinggi dibandingkan komponen lainnya dalam perekonomian. "Ini pelajaran pemerintah perlu lebih ekspansif, jangan mengganggu konsumsi, dan terus genjot ekspor," katanya.

Ia mengaku, salah satu kunci untuk meningkatkan kinerja ekspor adalah dengan memperbaiki sektor industri manufaktur. Meski begitu, Fithra mengatakan, industrialisasi membutuhkan waktu relatif panjang. "Jangka pendeknya, kita bisa mencari mitra dagang nontradisional sehingga bisa meningkatkan capaian ekspor kita," ujarnya.

(Pengolah: muhammad iqbal)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement