Rabu 07 Feb 2018 13:28 WIB

Pakar: Batasan Kritik dan Menghina Presiden Harus Diperjelas

Pakar menilai agar tak menjadi pasal karet, batasan penghinaan presiden harus jelas.

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Bayu Hermawan
Pakar hukum Unpar Asep Warlan Yusuf (kanan).
Foto: Antara
Pakar hukum Unpar Asep Warlan Yusuf (kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf menilai, rumusan pasal penghinaan presiden dan Wapres, masuk ke dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sudah tepat dilakukan untuk melindungi presiden sebagai simbol negara. Namun, harus diperjelas batasan antara kritikan dan hinaan.

"Tepat, sebaiknya menjadi delik umum saja," kata Asep saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (7/2).

Meski begitu, Asep  meminta agar penyusunan batasan antara kritikan dan hinaan dilakukan secara hati-hati. Sebab menurutnya, selama ini masih multitafsir dan belum jelas batasannya. "Tapi delik umum juga hati-hati ketika kita nanti menggeser dari semula sebuah kritik menjadi perbuatan penghinaan. Itu yang diklarifikasi, diberi batas," ujarnya.

Menurutnya, dalam pembahasan pasal penghinaan terhadap presiden dan Wapres ini harus mengatur secara jelas substansi dan batasan antara kritikan dan hinaan. Apakah substansi kritikan terkait dengan pribadinya, terkait sebagai Presiden RI sebagai simbol negara, atau berhubungan dengan kinerja presiden.

"Penting merumuskan perilakunya di dalam kaitannya tiga hal tadi, saat kapan pada pribadi, simbol negara sebagai presiden, saat kapan dia mengkritik kinerja," jelasnya..

Asep berpendapat, untuk membedakan antara kritikan dan hinaan yakni dengan melihat substansinya. Jika hal itu ditujukan kepada pribadi presiden, maka dapat dipidana melalui aduan korban kepada kepolisian.

Sedangkan, jika substansinya menghina presiden sebagai simbol negara, maka perbuatan tersebut dapat dipidana melalui pasal penghinaan ini tanpa adanya aduan dari korban terlebih dahulu.

"Ketika kita hina sebagai kepala negara, (misal) Presiden RI antek asing, Presiden RI jadi kaki tangan pengusaha X, nah itu sudah tidak ada kaitannya dengan pribadi. Itu sudah presiden karena subjeknya presiden RI. Itu yang bisa dipidana, kita juga tidak mau punya presiden yang dihina-hina," katanya.

"Berbeda dengan kritikan terhadap kinerja pemerintahan.Hal itu merupakan bentuk demokrasi bernegara dan tak bisa dipidanakan," ucapnya menambahkan.

(Baca juga: Pakar: Pasal Penghinaan Presiden Hambat Demokrasi)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement