Rabu 07 Feb 2018 05:39 WIB

Kasus DNA Babi dan Keharusan Halal

Logo halal dari LPPOM MUI.
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Logo halal dari LPPOM MUI.

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Elvina A Rahayu, Mantan Auditor Halal LPPOM MUI/Deputi Lembaga Sertifikasi LT IPB

Berita tentang produk obat dan suplemen Enzyplex dan Viostin sangat meresahkan konsumen Muslim Indonesia. Bagaimana tidak, produk yang dijual di ranah yang jumlah konsumen Muslim terbesar ini dipastikan mengandung DNA babi.

Hasil uji laboratorium Balai Besar POM Mataram terhadap aktivitas post market vigilance dengan menyampling produk merek Enzyplex dan Viostin, menunjukkan positif mengandung DNA babi. Hasil ini kemudian diuji absah di PPOM (Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional) bagian dari BPOM dan mendapatkan hasil sama, positif mengandung DNA Babi.

Dua hasil uji laboratorium pemerintah secara hukum sudah cukup sah untuk menjadi bukti bahwa produk tersebut memang mengandung babi. Tragedi ini sangat miris. Mengapa? Karena aturan tentang keharaman produk (mengandung babi dan alkohol) sudah cukup lama kita miliki. Lalu, mengapa hal ini masih bisa terjadi?

Menurut penjelasan Humas BPOM tanggal 30 Januari 2018, produk dengan bets tertentu positif mengandung DNA babi. Karena itu, produk dengan bets tertentu itu harus dihentikan proses produksinya dan menarik produk tersebut dari pasaran.

Produsen Viostin tidak menyangkal bahwa produknya mengandung DNA babi. Berdasarkan penelusuran internal ingredient, yang diduga memberikan kontribusi pada haramnya produk tersebut berasal dari chondroitin (Republika, 1/2/2018).

Sementara produsen Enzyplex, dalam siaran pers tanggal 1 Februari 2018, secara tersirat menafikkan isu ini, walaupun mengajukan permintaan maaf. Dalam industri farmasi, mengganti pemasok untuk bahan baku tidak semudah sebagaimana penggantian bahan baku yang bisa terjadi di industri pangan.

Lalu pertanyaannya, apakah dapat dipastikan bahwa kontaminasi babi pada ingredient aktif (chondroitin) Viostin hanya pada bets yang disampaikan oleh Humas BPOM? Jika chondroitin terkontaminasi babi, apakah peralatan yang digunakan selama ini juga tidak terkontaminasi ingredient itu?

Lalu, bagaimana memastikan produk sebelum dan sesudah bets tersebut bebas dari kontaminan haram? Lebih dalam lagi mempertanyakan, bagaimana penerapan Good Manufacturing Practices (GMP) baik pemasok chondroitin atau mungkin produsen Viostin sendiri hingga kontaminasi bisa terjadi.

Mempertanyakan hal ini adalah pemastian tentang bagaimana mekanisme pengawasan masuknya ingredient untuk industri farmasi ke negeri ini.

Ingat, hingga saat ini kita memiliki Peraturan Kepala (Perka) BPOM No.HK.00051.233.516 tahun 2009 tentang izin edar produk obat, obat tradisional, kosmetik, suplemen makanan dan makanan yang bersumber, mengandung dari bahan tertentu dan atau mengandung alkohol.

Pada Bab 2 Perka ini dijelaskan tentang bagaimana jika obat mengandung atau dalam proses pembuatannya bersinggungan dengan bahan tertentu (bahan haram bagi konsumen Muslim) dengan alasan kedaruratan.

Menurut Pasal 3 aturan itu, jika produk obat dan produk biologi bersumber dari babi porcine, harus dicantumkan informasi “bersumber dari babi” dalam kotak dengan warna merah di atas dasar warna putih.

Atau pada ayat berikutnya dalam pasal yang sama dinyatakan, jika produk obat dan produk biologi yang pada proses pembuatannya bersinggungan dengan bahan bersumber babi porcine harus dicantumkan informasi dalam kotak warna merah dengan dasar putih bahwa proses pembuatannya bersinggungan dengan bahan bersumber dari babi dan telah dipurifikasi sehingga tidak terdeteksi pada produk akhir.

Untuk memberikan izin edar, BPOM akan mengevaluasi keamanan, manfaat, mutu, dan rekomendasi dari tim lintas sektor mengenai kehalalan dan kedaruratan, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, BPOM, MUI, dan kelompok dokter ahli terkait.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement