Senin 05 Feb 2018 08:45 WIB

Pemahaman Masyarakat Mengenai Lingkar Kekerasan Anak Minim

Kekerasan dalam pendidikan di Indonesia hanya menjadi pembicaraan saat ada korban.

Sianit Sinta menujukkan foto mendiang suaminya Ahmad Budi Cahyanto guru SMAN 1 Torjun yang tewas dipukul siswanya sendiri, di Desa Tanggumung, Sampang, Jawa Timur, Sabtu (3/2).
Foto: Antara
Sianit Sinta menujukkan foto mendiang suaminya Ahmad Budi Cahyanto guru SMAN 1 Torjun yang tewas dipukul siswanya sendiri, di Desa Tanggumung, Sampang, Jawa Timur, Sabtu (3/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Psikolog pendidikan anak Najeela Shihab mengatakan pemahaman masyarakat mengenai lingkar kekerasan anak masih minim atau sedikit. Ia mencontohkan pada kasus terbaru mengenai tewasnya seorang guru di Sampang oleh anak didiknya.

"Keprihatinan masyarakat terhadap kasus Pak guru Ahmad Budi Cahyono yang tewas, menunjukkan penghormatan pada pendidik dan kepedulian pada dunia pendidikan. Jatuhnya korban dalam lingkungan pendidikan itu tidak boleh dibiarkan," ujar Najeela, di Jakarta, Senin (5/2).

Ia pun amat berduka dengan peristiwa itu. Namun reaksi yang beragam dari masyarakat mengenai kasus ini menunjukkan masih sedikit pemahaman akan lingkar kekerasan.

Najeela menjelaskan, kekerasan dalam pendidikan di Tanah Air cukup tinggi. Sekitar 26 hingga 27 persen anak mengaku menjadi korban kekerasan di rumah dan sekolah. Kemudian, sekitar 78 persen pernah menjadi saksi atau terlibat

Selain itu, angka kekerasan yang berkaitan dengan korban guru juga memprihatinkan. Sekitar lima hingga sembilan persen guru merasa tidak aman dalam pekerjaan.

Menurutnya keterkejutan masyarakat atas kasus ini bukti dari rendahnya keterlibatan. Masalah ini sudah di depan mata sejak lama. Kekerasan dalam pendidikan di Indonesia, hanya menjadi pembicaraan saat sudah ada korban fisik bahkan nyawa.

"Padahal setiap hari di ruang kelas, guru dan murid berada dalam kekerasan psikologis, termasuk secara emosional dan seksual. Tapi gawat darurat di dunia pendidikan, tidak dirasakan," kata dia lagi.

Selama ini, penanganan kekerasan dalam pendidikan fokus pada hukuman dan insiden per orang. Belum fokus pada pencegahan yang memahami bahwa pelaku seringkali adalah korban.

"Saksi dan semua yang ada di lingkungan adalah komunitas yang rentan dan butuh dukungan. HI (siswa yang menaniaya guru) tidak 'mendadak nakal' dan Pak Budi tidak hanya berada pada kondisi berbahaya pada saat itu saja," katanya pula.

Dia meminta agar siapa pun tidak menjadi pahlawan kesiangan, karena sumber dari kejadian tersebut tidak hanya pada beberapa jam sebelum peristiwa naas itu berlangsung. Perilaku murid HI dan kematian pak guru Budi adalah peringatan yang kesekian kalinya untuk semua.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement