REPUBLIKA.CO.ID BEIJING -- Cina telah mendesak Amerika Serikat (AS) untuk menyingkirkan mentalitas Perang Dingin setelah Washington merencanakan untuk melakukan diversifikasi senjata nuklirnya dengan bom-bom yang lebih kecil. Militer AS percaya senjata nuklirnya telah dipandang terlalu besar untuk digunakan dan kini ingin mengembangkan bom berdaya rendah.
Cina mengatakan, pihaknya dengan tegas menentang kajian Pentagon mengenai kebijakan nuklir AS itu. Cina juga menuduh Washington telah memainkan ancaman terhadapnya, sementara kebijakannya sendiri diklaim sudah cukup bersifat defensif.
"Kami berharap Amerika Serikat akan meninggalkan mentalitas Perang Dinginnya, dengan sungguh-sungguh bertanggung jawab atas perlucutan senjata khusus, memahami maksud strategis Cina, dan melihat pertahanan nasional dan militer Cina secara objektif," kata pernyataan yang dikeluarkan Kementerian Pertahanan Cina, dikutip BBC, Ahad (4/2).
Negara yang memiliki gudang senjata nuklir terbesar di dunia, harus mengambil inisiatif untuk mengikuti tren dan bukannya menentangnya. AS merasa prihatin dengan persenjataan nuklirnya yang semakin usang dan tidak lagi efektif. Negara tersebut mengatakan Cina, Rusia, Korea Utara, dan Iran saat ini telah menjadi ancaman potensial.
Dokumen Pentagon yang dirilis pada Jumat (2/2), yang dikenal dengan Nuclear Posture Review (NPR), menyatakan perkembangan senjata nuklir yang lebih kecil akan menentang asumsi awal mereka itu. Senjata berdaya rendah dengan kekuatan di bawah 20 kiloton dianggap masih dapat memberikan dampak yang besar.
Selain itu, NPR juga mengusulkan agar rudal balistik berbasis darat, rudal yang diluncurkan dari kapal selam, dan senjata yang dikirim melalui udara, dapat dimodernisasi secara besar-besaran. Hal ini sebenarnya telah mulai dilakukan di bawah pemerintahan Presiden AS Barack Obama.
Pentagon akan mengajukan modifikasi beberapa hulu ledak nuklir yang akan diluncurkan dari kapal selam untuk memberi daya yang lebih rendah atau detonasi yang tidak terlalu kuat. Pentagon juga akan meminta dipulihkannya penggunaan rudal jelajah berbasis laut
Dalam dokumen NPR, AS menuduh Cina telah memperluas kekuatan nuklirnya yang sudah cukup besar. Namun, Cina mempertahankan kebijakannya dengan mengatakan pihaknya akan secara tegas berpegang pada prinsip perdamaian dan menjalankan kebijakan pertahanan nasional yang bersifat defensif.
Melawan ancaman yang berkembang dari kekuatan revisionis, seperti Cina dan Rusia, telah menjadi inti strategi pertahanan baru yang diumumkan AS bulan lalu. Kementerian Luar Negeri Rusia menuduh AS telah melakukan penghasutan perang. Moskow mengatakan, akan mengambil tindakan yang diperlukan untuk memastikan keamanan Rusia.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengungkapkan kekecewaan yang mendalam atas rencana AS tersebut. \"Dari pernyataan pertama, sifat konfrontasi anti-Rusia dari dokumen ini telah terlihat,\" katanya dalam sebuah pernyataan, Sabtu (3/2).
Tudingan Iran
Sementara Iran menuduh AS telah mengancam Rusia dengan "senjata atom" baru. "Orang-orang Amerika tanpa malu-malu mengancam Rusia dengan senjata atom baru," ujar Presiden Iran Hassan Rouhani, yang membuka jalan menuju kesepakatan nuklir Teheran pada 2015 bersama sejumlah kekuatan dunia.
Orang-orang yang sama yang percaya bahwa penggunaan senjata pemusnah massal adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, kata Rouhani, sedang membicarakan senjata baru untuk mengancam lawan-lawannya.
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif sebelumnya telah memperingatkan, dokumen kebijakan AS itu dapat menimbulkan risiko yang akan membawa manusia mendekati kehancuran. "Keterbukaan (Presiden AS Donald) Trump untuk mengakhiri JCPOA (kesepakatan nuklir Iran dengan kekuatan dunia) berasal dari ketidaksadaran yang berbahaya," ujar Zarif di akun Twitter pribadinya.
Trump telah memberikan kesempatan terakhir bagi kesepakatan nuklir Iran pada akhir bulan lalu. Ia memperingatkan sekutunya dan kongres Eropa bahwa mereka harus bekerja sama dengannya untuk memperbaiki kekurangan yang ada dalam kesepakatan tersebut. (Pengolah: yeyen rostiyani).