Ahad 04 Feb 2018 23:40 WIB

DPR Diminta Prioritaskan RUU Pengendalian Obat dan Makanan

Jika ada UU maka BPOM punya kewenangan untuk melakukan tindakan

Rep: agung vazza/ Red: Joko Sadewo
Ilustrasi Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)
Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko
Ilustrasi Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat Kebijakan Publik UI, Riant Nugroho, meminta DPR segera memprioritaskan pembahasan Rancangan UU Badan Pengendalian Obat dan Makanan (BPOM) yang pernah diajukan pemerintah beberapa waktu lalu. Ini agar masyarakat mendapat jaminan kepastian hukum jika ada pelanggaran aturan atas produk obat dan makanan yang beredar di pasar Indonesia.

Menurut Riant , adanya UU BPOM pada hakikatnya untuk memberikan kewenangan secara full spectrum kepada BPOM sehingga dapat melakukan pengawasan sejak dari hulu, mulai dari registrasi hingga pasca produksi, sampai ke hilir atau post market.

“Saat ini BPOM tidak punya kewenangan untuk memberikan sanksi seperti penutupan pabrik, jika ditemukan pelanggaran atas izin produk tertentu. Karena kewenangan penutupan pabrik ada di Kementerian Kesehatan,” ujarnya kepada pers, Ahad (4/2) 

Riant mengingatkan bahwa RUU BPOM pernah diajukan oleh Presiden Jokowi ke DPR untuk segera diprioritaskan pembahasannya. Karena masalah krusial persoalan obat dan makanan selain bahan baku produksi, juga perlu memperhatikan aspek keagamaan seperti halal atau tidaknya yang berada di bawah MUI/Kementerian Agama.

BPOM saat ini menurut dia, hanya bertindak sebagai “pengawas”, bukan sebagai “pengendali”. Dengan adanya UU BPOM di masa depan, maka Kemenkes nanti bertindak sebagai regulator saja dan BPOM sebagai operator yang mengendalikan peredaran obat dan makanan di masyarakat.

Riant menanggapi berita hasil penemuan Balai POM atas hasil uji sampel produk suplemen makanan Viostin DS dan Enzyplex tablet yang ramai diperbincangkan masyarakat belakangan ini. “DPR harusnya mengapresiasi hasil temuan BPOM tersebut,” ujarnya.

Selama ini yang mengeluarkan izin peredaran produk kesehatan adalah Kementerian Kesehatan, sedangkan pengawasannya berada di bawah kewenangan BPOM. Sehingga BPOM sama sekali tidak mempunyai kewenangan menutup pabrik produk tersebut.

Sebelumnya beredar viral surat dari Balai Besar POM di Mataram kepada Balai POM di Palangka Raya tentang Hasil Pengujian Sampel Uji Rujuk Suplemen Makanan Viostin DS dan Enzyplex tablet.  Setelah BPOM turun tangan melakukan penyelidikan, terungkap bahwa sampel produk yang tertera dalam surat tersebut adalah Viostin DS produksi PT Pharos Indonesia dengan nomor izin edar (NIE) POM SD.051523771 nomor bets BN C6K994H, dan Enzyplex tablet produksi PT Medifarma Laboratories dengan NIE DBL7214704016A1 nomor bets 16185101.

Berdasarkan hasil pengawasan terhadap produk yang beredar di pasaran (post-market vigilance) melalui pengambilan contoh dan pengujian terhadap parameter DNA babi, ditemukan bahwa produk di atas terbukti positif mengandung DNA Babi.

Badan POM-RI akhirnya telah menginstruksikan PT. Pharos Indonesia dan PT Medifarma Laboratories untuk menghentikan produksi dan/atau distribusi produk dengan nomor bets tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement